“Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkah oleh-oleh buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.”
(Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”)
Suatu keadaan yang menyedihkan. Rasa yang terus bergejolak, namun takdir seolah mengatakan lain. Meskipun seluruhnya mendukung pertemuan itu, namun masih saja ada keresahan. Bisa saja membuat kita terus menangis, merangkaikan kata agar kerinduan tidak begitu menyesakkan dada bersebab “pemuasan” itu jauh dari pandangan.
“Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris”
(Taufiq Ismail, “Dengan Puisi, Aku”).
Hanya dengan puisi itu, dengan membahasakan kerinduan, gumpalan yang menyesakkan dada bisa dilonggarkan. Meskipun jarak tidak mampu terlonggarkan. Membahasakan kerinduan dapat memberikan ruang untuk bernapas, sejenak meskipun banyak orang yang memprotesnya: Puisimu buruk! Sedangkan kita sadar kalau:
“puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan”
(Dodong Djiwapradja, “Puisi”)
Seburuk apa pun bahasa yang digunakan dalam membahasakan rasa (rindu) yang ada di dalam dada, bahasa itu bisa menghilangkan sesak, karena kepahitan yang tersimpan di dalam dada terluapkan dalam kata bijak (puisi). Dan, walau pun yang dikenang adalah rindu atas penghianatan. Apa kita masih mendendam dengan kerinduan itu? dengan cinta itu? Ada yang mengalun di telinga:
“Langit di atas simpang jalan
menemaniku bernyanyi
bagai gejolak pohon nan runtuh
bersama gitar bersama sepi
bersama luka dan cinta
aku masih sempat bernyanyi lagi
Ada yang mesti kupikir lagi
melepas dendam dan sakit hati
dan berjuang membunuh benci
Tuhan, jagalah tanganku ini”
(Ebit G Ade, “Ada Yang Tak Mampu Kulupa”)
Karena itulah, bahasakan rasa yang ada di dalam dada, seperi aku menuliskan bahasa kerinduan yang terus menyesak di dalam dada. Baik atau buruk, itu bukan tolok ukurnya, selama dia sebagai:
“Sajak seorang penyair
lahir dari kecup bibir
menetes seperti air”
(Ayatrohaedi, “Sajak”).
Karena rasa itu, ada yang bergejolak, membuat hati begitu resah dalam kemelut yang tidak juga usai. Dari rasa itu, perkenankanlah saya berpuisi: