Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diawali dengan Resapan Cinta

8 Februari 2011   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jarak yang ada di antara diri (individu) dengan pemahaman hakekat kerahasiaan yang tersembunyi dan biasanya terungkap di malam hari. Melakukan perjalanan ini akan membuahkan buah nikmat dari prihatin (menjalani kesusahan), harus ditempuhi bersama yakin dan ketulusan dalam kesabaran yang penuh. Hingga, sang NJ pun menulis demikian:

Memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu,
serpihan cahaya langit membatu granit, serupa butiran garam
dihempaskan ombak ke bunga karang berulang-ulang [XVII]

Niat yang sudah diungkapkan dalam ayat V surat Muqaddimah ini membuat seorang pejalan harus rela untuk tidak menghiraukan sakit saat terpaksa berhadapan dengan diri sendiri. Masa bertirakat (dalam ayat V) yang (mungkin) adalah perjalanan panjang membuatnya tertatih sendirian. Si pejalan ini hanya memiliki pengetahuan sebagai bekal yang dimunculkan dalam simbol serpihan cahaya langit dan butiran garam, pun berpapasan dengan gelombang. NJ (sang pejalan) di sini, mungkin saja sadar diri kalau dirinya manusia biasa, hawa nafsu dan rasa cinta pada dunia menjelma menjadi ombak dan bunga karang yang hampir saja (mungkin sudah) mengalahkan dirinya.

Hal musabab yang perlu ditilik lebih dalam adalah nuansa batin yang ada di sana. Pejalan (manusia) yang bertekat bulat sampai menemukan sucinya kesempurnaan, masih terpeleset di getir hawa nafsu sendiri. Lalu, bagaimana NJ menulis panjang lebar kalau, toh, dirinya sendiri berjatuhan di sana, setelah ilmu semasa pengembaraan dikalahkan (dihancurkan) sendiri? Ini bisa saja menjadi nasehat untuk kita (dan tentu saja untuk NJ sendiri) bahwa di dalam diri manusia ada musuh (serta kawan) yang perlu dicurigai.

Melepaskan halaman pertama dicerna pikiran, saya memberanikan diri untuk membuka lembaran setelahnya. Di sini, terjadi lompatan pemikiran kembali. NJ meresapkan simbil dan menghiaskan bunga Wijayakusuma pada bangunan struktur maknanya. Perjalanan yang menurut saya, jauh merasuk ke dalam sendi-sendi kebatinan masyarakat Jawa. Bagaimana NJ memandang bunga Wijayakusuma ini, yang dalam penciuman sepintas sebagai syarat seorang Ratu Adil. Pun, NJ menghadirkan sosok Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu manusia se-Jawa.

Nurel Javissyarqi membingkaikan mimpi tua atas hijrahnya masyarakat yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan dalam masa pageblug, dilangkahkan ke titian menuju ke tatanan yang diidamkan. Hidup manusia yang dipenuhi berkah dalam situasi yang selamat dan sejahtera. NJ, memberikan hubungan yang cukup jelas antara bunga Wijayakusuma dengan kehadiran Ratu Adil dalam ayat XVIII surat Muqaddimah. Akhirnya, saya mengheneng dan mengheningkan pikiran untuk sejenak. Membayangkan mimpi kami (manusia Jawa) menyoal kedatangan Ratu Adil. Dia (Ratu Adil) sosok pemimpim yang mendapatkan petunjuk Allah dalam kerja pemerintahannya untuk membawa seluruh manusia dalam kesejahteraan, yang seperti diramalkan Raja Jayabaya dari Kediri (Yoedoprawiro, 2000: 57-58).

Ratu Adil, sebagai mimpi kolektif masyarakat Jawa, oleh NJ dikatakan bahwa kedatangannya dibarengi dengan bunga Wijayakusuma yang merekah. Saya terhenyak, keluar rumah dan mencari bunga Wijayakusuma itu, mengamati daunnya namun saya tidak mendapatkan pengertian akan Ratu Adil. Wijayakusuma sebagai syarat penobatan yang akhirnya dapat direngkuh sebagai pemahaman atas tingkatan kemampuan seseorang dalam menjadir raja. Tingkatan ini bisa disebut sebagai kriteria akan kemampuan yang harus dipenuhi.

Ayat XVIII dalam Muqaddimah ini memiliki hubungan dengan sejarah keyakinan masyarakat Jawa. Apabila sosok Ratu Adil adalah seorang penguasa Tanah Jawa, maka bunga Wijayakusuma adalah sosok pribadi dan laku dari penguasa tersebut. Hal ini dapat kita lihat lebih jauh di dalam Serat Centini yang menceritakan bagaimana Raja Kresna melabuh Wijayakusuma untuk menjadi bekal bagi seorang penguasa (Ranggasutrasna dkk, 1992: 11-12).

Manfaat Wijayakusuma ini masih tersembunyi di dalam KPM. Mungkin, NJ ingin menjadikan setiap pembaca KPM sebagai pengelana sebagaimana sosok NJ sendiri. Dalam ayat XX, tabir misteri itu sedikit dibuka dalam nuansa tersendiri, sebagai berikut:

Dasarnya sakit ada tombonya, sejengkal air bengawan mengaliri mata kaki,
menikmati tapakan melangkahi bencah membaca peta pesisir,
menjelma tarian pulang berjejak makna peristiwa sejarah [XX]

Suka atau tidak, NJ benar-benar memaksa kita untuk menjadi pengelana. Lewat lompatan pikiran yang sungguh mengagetkan ini, NJ merasuki jiwa yang tadinya diam untuk bergejolak dan mengikuti rasa hati. Di ayat XX surat Muqaddimah ini, kita musti kembali pada Wijayakusuma. Mengurai putihnya kelopak, daun serta batang yang menjulur. Lalu, apa yang sebenarnya akan kita cari untuk memahami ayat XX surat Muqaddimah ini? Menurut hemat saya, NJ membangun struktur tanda yang bertujuan untuk mengingatkan kita agar tidak melupakan jati diri, atas asal-muasal tanah kelahiran (Hidup). Di setiap tanah yang menjadi tempat tertumpahnya darah, ada jalan lain yang dapat membawa kita pada kesempurnaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun