Senja merah merona membakar langit barat. Udara dingin merayap, merambati desa-desa yang tenang. Kelelawar berterbangan berputar-putar memburu makanan. Burung-burung pulang ke sarang, berteduh pada surganya sendiri setelah seharian memburu kehidupan. Kemudian, tidak ada suara lagi yang terdengar selain adzan Magrib yang saling bersahutan dalam irama yang pasti. Hartanto berdiri di pinggir desa memandang ke sawah yang mulai samar. Ia terpaku memandang masa depannya yang sebentar lagi akan dia jalani. Hidup sebagai seorang bapak dan petani. Hidup sebagai manusia dalam satu perjalanan Pelayanan. Hidup harus merdeka. Kembali ia memandangi langit yang mulai gelap. Di sana ia temui bayangan masa depannya, seorang perempuan desa yang telah menunggu dalam harapan.
Tidak lama setelah matahari tenggelam penuh, Hartanto masuk ke dalam rumah. Ia membersihkan diri dan mulai bersujud bercerita soal harapan, meletakkannya dalam sujud di atas doa dan harumnya sajadah. Hartanto termenung, tertunduk dalam ke lubuk hati di mana masa lalu penuh dengan cahaya lampu yang menyilaukan. Ia diam seraya berguman, "Tuhan, maafkalah aku."
Hartanto menyadari bahwa dalam perjalanan hidupnya, ia belum berbuat apa pun. Mengingat masa lalu yang penuh dengan dosa-dosa yang kini menumpuk lebih tinggi dari gundukan tanah Merapi. Dosa seorang pencari mampu untuk menutupi lautan, penuh dengan kegamangan dan keraguan. Dia kini bersujud untuk bersyukur atas semua yang telah didapatkan di atas bumi ini. Seorang pejalan sunyi yang belum berbuat apa pun di dalam hidupnya. Namun, Tuhan selalu memberikan anugrah dalam setiap tarikan nafas, atas Kemuning yang menjadi kekayaan yang tiada bandingannya. Kekayaan terbaik di dalam kemiskinannya.
Kemuning seorang perempuan desa yang telah menjadi cahaya dalam perjalanan Hartanto yang penuh dengan tikungan tajam. Dengan kebaikan hati, pengabdian dan penerimaan yang tulus, telah membuatnya menjadi lelaki yang paling beruntung di dunia ini. Kemuning adalah anugrah. Pernah Hartanto berandai-andai, kalau Tuhan menciptakan seluruh perempuan yang memiliki kebaikan hati yang sama dengan Kemuning, dunia akan menjadi begitu indah dan damai.
Namun, Tuhan tidak berkehendak demikian. Dunia diciptakan dengan ribuan bahkan jutaan warna yang membuatnya menjadi terasa lebih indah dengan perbedaan. Sedangkan, takdir manusia hanya untuk memilih setiap warna yang ada untuk dirinya sendiri. Manusia harus memilih takdirnya sendiri-sendiri. Memilih diantara banyak hal yang sulit dalam warna-warni dan perbedaan, dan manusia hanya harus memilih. Tapi, hidup itu alangkah sederhananya, pikir Hartanto sambil tersenyum, hidup hanya masalah sudut pandang. Dalam perjalanan hidupnya, Hartanto berpegang pada satu syair yang tidak akan roboh diterjang arus zaman yang deras: begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada*. Dan pilihan menjadi mudah bagi manusia, hidup pun akan menjadi sangat sederhana.
* Sajak Zaman Edan oleh Ranggawarsita baris terakhir: "Betapa bahagia pun mereka yang lupa, lebih bahagia yang ingat serta waspada"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H