Narti langsung mengulurkan tangannya, "Narti!" ucapnya dengan pasti.
"Saya Munandar, senang bertemu dengan nona," sahut Nandar pelan.
"Sudah lebih dari satu jam saya mendengarkan nada-nada yang Mas Munandar mainkan. Saat saya mencoba untuk memahami, saya seakan sedang mendengar isi hati saya sendiri. Saya tidak tahu kenapa, hanya saya menemukan banyak, terlalu banyak kesedihan yang mengalun dalam nada-nada yang Mas Munandar ciptakan."
Nandar langsung memperhatikan Narti dengan serius. Kata-kata yang dia tangkap seolah-olah berasal dari seseorang yang sangat mengerti dengan musik. Setiap detik ia mencermati. Kelopak matanya pun tidak mengatup walau sekejap. Ia memandangi Narti dengan perasaan kagum.
"Kalau Mbak Narti,"
"Panggil saja Narti" potongnya.
"Buat saya, musik adalah kejujuran hati yang terdalam. Kalau seandainya, kamu merasakan suatu kesedihan di dalam irama musik saya, bukan berarti kalau ini musik yang sedih. Mungkin, Narti sendiri lah yang membuatnya menjadi terdengar sedih, karena saat ini hati memang sedang dirundung kesedihan."
Narti tersenyum sambil menundukkan kepada sedalam mungkin. Ia merasa malu dan sungkan, kata-katanya telah mengungkapkan perasaan hatinya sendiri. Kesedihan yang sudah lama sekali merasuk di dalam darah dan daging. Dia mengangkat kepalanya, sambil tersenyum memandangi laut lepas.
"Ternyata selain pintar bermain musik, Mas Munandar juga pintar meraba perasaan orang lain."
"Mungkin," sahut Nandar tersipu dengan pujian Narti.
"Saya memang baru merasakan kesedihan, Mas. Hampir setiap hari aku bersedih,"
"Memang tidak akan pernah habis walau dibagi dengan semua orang di dunia ini. Tapi, untuk sedikit meringankan, beban hidup lebih baik kamu bagi. Setidaknya dengan membagi beban, kita merasa punya teman untuk saling berbagi dan menanggung bersama."
Narti terdiam lama sedangkan Nandar teringat kata-kata Hartanto tentang luka kehidupan: Tidak ada gunanya berbagi dalam kesedihan karena tidak akan habis, hanya sedikit melegakan. Sedikit saja. Aku tidak akan berbagi kesedihan denganmu, Ndar, yang akan aku bagi adalah kebahagiaan, walau hanya sedikit dan cepat habis. Lukaku akan aku pendam dalam hati sebagai perenungan hidupku, sebagai jalan dari yang gelap menuju yang terang. Nandar selalu mengingatnya, kata-kata yang berasal dari orang yang terbuang dari komunitasnya. Sedangkan, selama bertahun-tahun bersama Hartanto, Nandar tidak pernah melihat sahabatnya itu mengeluh. Dan selama itu pula, Hartanto selalu menjadi tempat bagi orang lain untuk bercerita soal luka.
"Kita baru saja bertemu, Mas. Masak iya, aku membagi rasa sakit dalam perjumpaan pertama." Ucap Narti dengan ragu.
"Tidak ada batasannya. Justru karena baru sekali bertemu, belum tentu kita bertemu lagi. Rahasiamu akan aman bersamaku."
"Ada benarnya juga, Mas." Ucap Narti sambil tersenyum. "Penderitaan hatiku berawal dari persepsi dan justifikasi. Orang selalu memberikan penghakiman tanpa ada pengadilan. Hukuman pun diputuskan karena penilaian yang dari satu sisi saja." Narti menatap lautan saat mengingat penderitaannya, ia pun menangis.
"Kenapa dengan persepsi dan justifikasi?"
Bersambung ke Noumenus (Babak 25)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H