Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 17)

27 Januari 2010   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Aku tahu! Aku sudah memilihnya." Ucap Fais menegaskan posisinya.

"Terima konsekuensinya. Setiap pilihan punya konsekuensinya sendiri-sendiri."

"Cintaku pada Narti seolah-olah justru menjauhkanku dari kebahagiaan. Apa yang selama aku berikan dan dengan yang aku dapatkan tidaklah sebanding. Sangat tidak sebanding kalau yang ada hanya rasa nyeri yang sangat sakit saat malam turun begitu dingin."

Fais tersenyum tidak bersemangat. Konsekuensi yang harus dia terima sangat menyakitkan. Kenapa Tuhan harus memberikan dua pilihan yang paling sulit dalam hidup ini, pikir Fais. Fais mencintai Narti tapi dia tidak bisa menutup telingga untuk mendengar dan matanya untuk menyaksikan kalau Narti adalah seorang pelacur. Ayam kampus tak lebih dari seorang pelacur di pinggir jalan yang menjual tubuhnya, bedanya hanya tujuannya saja, antara bertahan hidup atau kesenangan semata. Sedangkan di sisi yang lain, Fais tidak bisa menerima keadaan Narti yang seperti itu, tapi dia tidak bisa untuk tidak berharap. Fais berada dalam pilihan: berharap tapi sakit, atau tidak berharap tapi juga sakit.

Hartanto menyandarkan tubuhnya di punggung kursi dan mulai merokok. Dia mendengarkan cerita Fais dengan tenang tanpa berkomentar. Fais terus saja bercerita tentang kisah cinta yang harus berjalan tanpa kebahagiaan. Terus saja Fais bercerita dan terus saja Hartanto hanya terdiam mendengarkan. Sampai Hartantanto merasa kalau dirinya adalah umpama kotak sampah bagi orang lain yang sedang terpuruk dalam lubang penderitaan. Namun di saat yang lain, Hartanto merasa sendiri dan terbuang tanpa tahu pada siapa dia harus mengadukan nasibnya. Seringkali Hartanto merasa bosan, namun ia harus bertahan, terus bertahan karena suatu nanti akan datang saat dia harus belajar dari kesedihan orang lain, penderitaan orang lain sebagai sebagian bekal dalam perjalanannya yang sunyi.

"Cinta selayaknya kehendak Tuhan untuk merubah manusia. Ia bisa saja datang ke dalam hati manusia sebagai malaikat yang memberikan berjuta-juta kedamaian, membuat manusia merasa hidup di surga yang isinya serba abadi. Namun, bisa saja dia datang sebagai iblis yang membawa kehancuran bagi manusia." Hartanto membenahi posisi duduknya. "Tapi, Is, walau cinta menjadi iblis atau malaikat, cinta itu tidak ada yang abadi kebahagiaannya. Kecuali, kalau di sana ada keikhlasan dalam mencintai, keikhlasan memberi dan menerima. Kalau kamu ikhlas, cinta akan membawa kebahagiaan, sekalipun ia datang sebagai Iblis yang paling kejam."

Hartanto melihat jam tangannya dan langsung beranjak menuju kasir. Setelah selesai, ia mengambil tasnya yang masih berada di samping meja, kemudian menepuk pundak Fais sambil berkata, "Jangan pernah mengharap balasan saat kamu mencintai!" ucapnya dan berlalu ke jalan yang beku di dalam malam yang dingin.

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun