Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 11)

20 Januari 2010   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perempuan muda, tinggi dan cantik berjalan di halaman Kampus Merah. Rambutnya yang panjang dan lurus menebarkan bau harum. Semua orang memperhatikannya karena berbagai macam alasan. Namun, alasan yang mungkin banyak dimiliki oleh mereka yang memperhatikan, karena perempuan itu adalah perempuan yang cantik. Dan juga, dia tidak mengenakan jilbab semakin membuat orang penasaran sebab semua perempuan di Kampus Merah secara wajar mengenakan jilbab walau jilbab yang sudah mengikuti mode di zaman sekarang.

Perempuan tadi melangkah tenang, matanya mencari sesuatu yang berharap dia temukan di sana. Ia terus berjalan menuju kantin dan dia menemukan orang yang dia cari. Semua orang menatap kagum, termasuk Nandar yang sampai tidak berkedip ditambah tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Rena?" gumamnya lirih namun didengar Hartanto yang kontan, langsung berbalik. Hartanto temukan Rena berdiri di belakangnya. Awalnya dengan senyuman kemudian, kedua mata yang indah mulai basah. Dan menetes perlahan-lahan membasuh make up di pipinya.

"Maafkan dengan sikapku semalam, Har!" ungkapnya Rena dengan seketika dan langsung duduk memohon.

Hartanto diam termenung dan masih kaget dengan kehadiran Rena. Pandangannya terjurus ke tempat yang jauh sambil sesekali melihat Nandar yang memandangi Hartanto dengan kecurigaan.

"Apa yang sudah terjadi semalam bukanlah suatu kesalahan. Kamu tidak perlu meminta maaf."

"Aku merasa bersalah dengan sikapku," saut Rena dalam isak tangis yang samar-samar namun berangsur menjadi jelas.

"Aku tidak pernah mempermasalahkannya, Ren." Hartanto menghela nafas dengan berat.

Mendengar ucapan Hartanto Rena justru menangis tersedu. Ia semakin tenggelam dalam perasaan bersalahnya. Hartanto mengambil nafas perlahan-lahan dan berdiri. Ia ingin beranjak pergi ke tempat di mana dia dapat bernafas lega tanpa harus mendengarkan tangisan dan keluh kesah Rena.

"Har," kata Rena dalam sedu-sedan sambil memegangi tangan Hartanto dengan erat ketika dia akan bangkit meninggalkan Rena.

"Aku masih ada urusan, Ren. Kamu di sini saja dulu bersama Nandar. Bukankah kamu merindukan nasehat sufistiknya?" ucap Hartanto namun dia tetap tidak bisa langsung pergi.

Rena masih memegangi tangannya tanpa ada keinginan untuk melepaskannya dan membiarkan Hartanto pergi. Air mata terus mengalir, menghancurkan make-up yang terpoleskan dengan indah. Namun, Rena masih tetap terlihat cantik dan anggun tanpa make­-up.

"Maafkan aku,"

"Iya, aku maafkan. Tapi, aku hari ini ada banyak urusan. Kamu bersama Nandar dulu. Nanti atau besok kita membicarakannya lagi." Ucap Hartanto dengan lembut untuk menyakinkan Rena agar mau melepaskan tangannya.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun