Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 14)

23 Januari 2010   01:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

18:30, Hartanto sudah berada di dalam Cangkir selama dua jam. Dia duduk di sana sambil menyesalkan tindakannya yang telah meninggalkan Rena dalam keadaan yang sangat membutuhkan orang lain untuk berada di sampingnya. Namun, di sana ada Nandar yang akan membela Rena dalam keadaan apapun. Hartanto sengaja meninggalkannya pergi, agar Rena belajar untuk berpijak dengan kakinya sendiri. Karena menurut Hartanto, Rena harus bertahan, harus berani menghadapi konsekuensi hidup, sendirian, karena tidak setiap saat ada seseorang yang akan berada di sampingnya.

Eko datang sambil membawa segelas kopi dan duduk di depan Hartanto. Sore ini Kedai Cangkir masih sepi, tidak seperti biasanya yang sudah banyak pengunjung. Orang-orang, duduk berjam-jam menghabiskan waktu bersama teman, tertawa-tawa dan hanya ada tawa di sana. Walau, tidak setiap tawa menjadi tanda kebahagiaan. Kedai seakan-akan menjadi tempat yang pas untuk sekedar bersantai dan menghabiskan waktu. Hartanto juga sudah menghabiskan banyak waktu di beberapa kedai kopi di kota ini. Membunuh waktu yang berlari di depan manusia, yang jauh meninggalkan manusia.

"Aku penjual kopi, tapi baru kali ini aku minum kopi."

Hartanto tersenyum sambil mengangkat gelas kopinya. "Cukup mengagetkan, tapi pasti ada alasan tertentu."

"Yang jelas aku tidak suka kopi. Pernah aku mencoba untuk minum, Mas, tapi justru membuatku merasa mual selama beberapa hari."

"Lalu kenapa kamu menjual kopi?"

"Banyak orang yang suka kopi. Duduk bersama orang-orang dekat mereka, minum kopi bersama sambil berbicara apa saja. Banyak orang suka bersantai sambil minum kopi. Kedai menjadi bisnis yang bagus di kota-kota seperti Yogyakarta." Eko mencoba untuk membuat Hartanto yakin, "Baru menunggu seseorang, Mas?"

"Iya, aku menunggu kamu untuk menemani minum kopi." Jawab Hartanto sambil tersenyum kecil tanpa maksud tertentu.

Eko pun tersenyum kecil. Pertanyaannya tidak mendapatkan jawabannya namun buatnya, di Kedai bukan berarti harus menunggu seseorang. Selama ia menjalankan bisnis ini, baru sekali ia temui seseorang yang selalu datang ke Kedai hanya sendirian, tidak menunggu siapa pun kecuali sekedar untuk minum kopi.

"Aku sebenarnya punya satu pertanyaan buatmu, Mas."

"Apa itu?" tanya Hartanto tidak bersemangat.

"Aku masih tidak mengerti kenapa sikap Mas Hartanto begitu dingin dengan perempuan yang semalam." Tanya Eko dengan suara pelan.

"Itu pertanyaan, apa penilaian kamu?"

"Keduanya, Mas."

"Aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin, karena tidak ada kecocokan atau merasa tidak cocok saja."

"Dia cantik, Mas. Kesempatan baik tidak akan datang dua kali. Kenapa tidak mencoba untuk cocok. Cinta itu akan datang bersamaan dengan waktu, tumbuh seperti tanaman, seperti bibit yang kita tanam."

"Aku tidak bisa mencocokkan sesuatu yang tidak cocok. Coba, cincin di jarimu kamu lepas dan kamu masukkan ke ibu jari, rasanya bagaimana, sakit. Mencocokkan sesuatu yang sebenarnya bukan tempatnya itu rasanya sakit."

"Mas Har memberikan contoh yang sama sekali tidak berhubungan. Cinta itu tidak akan lahir dalam waktu yang singkat. Tapi hasil dari proses interaksi manusia dengan manusia lainnya."

"Kamu terdengar seperti dosen pengantar ilmu Sosiologi,"

"Serius, Mas. Cinta tumbuh seiring dengan proses interaksi itu. Seiring dengan waktu yang berjalan, cinta itu akan tumbuh. Seperti ungkapan lama, tresno jalaran soko kulino. Proses lahirnya cinta seperti proses lahirnya kehidupan, berawal dari hal kecil menjadi besar dan akhirnya menjadi cinta yang indah. Aku sendiri merasakannya, Mas."

"Aku sendiri sudah mengenalnya sekitar lima tahun ini. Tapi tetap saja tidak ada cinta yang tumbuh dalam waktu lima tahun itu."

"Karena Mas tidak pernah mencobanya," sahut Eko.

"Aku memang tidak mencobanya! Aku tidak berniat untuk bersanding di sampingnya sebagai kekasihnya. Aku menatapnya dengan kekaguman, dan pada saat masa-masa sulit dulu, aku lebih tenang bersama Rena sebagai sahabat dan rekan kerja. Rena adalah perempuan yang tangguh, pintar dalam ilmu agama dan dunia, cantik, juga kaya. Tapi, dalam hati kecil aku lebih suka menjadi sahabatnya. Bukan kekasihnya."

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun