Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 7)

12 Januari 2010   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nandar memandangi Hartanto, di matanya ada banyak pertanyaan. Tetap dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

"Segala yang punya awal, pasti ada akhir yang menunggunya pada kesempatan tertentu. Kita pun akan mati!" kata Hartanto datar.

"Jangan berbasa-basi."

"Manusia diciptakan Tuhan pasti mati. Noumenus diciptakan manusia pasti akan hancur, entah itu kapan." Ucap Hartanto sambil memandang ke depan jauh namun ingatannya berada di masa lalu. "Semua hanya masalah waktu saja." Lanjutnya dengan kecewa.

"Aku menyesalkan akhir dari semuanya, kenapa tidak bisa manis penuh kenangan yang mampu membuat kita tersenyum." Ucap Nandar pelan.

"Ah, itu hanya masalah sudut pandang. Aku masih tersenyum saat mengenang  Noumenus. Dua tahun dibangun oleh sepuluh orang yang mempunyai perannya masing-masing. Dengan ambisinya masing-masing. Ada yang kaya, ada yang punya banyak relasi, ada yang punya banyak ilmu, Noumenus dibangun dengan semua yang kita punyai. Semua itu menjadi hal yang menggelikan saat kehancurannya hanya karena satu orang. Perempuan!"

Nandar menggelengkan kepala mengingat masa lalunya. Ia tidak menyangka semua itu akan hancur demi ambisi pribadi dan sesuatu di belakangnya yang sampai saat ini masih tidak mengerti. Kehancurannya mengerikan dan memalukan. Hanya dalam empat tahun kerja keras itu bertahan.

"Kita masih bisa memulainya lagi, Har."

"Aku pesimis!" ungkapnya sambil mempercepat langkahnya.

"Sejak kapan kamu langsung menyerah sebelum mencobanya?" sahut Nandar setengah berteriak dan mendakwa.

Hartanto langsung berhenti menghadang Nandar yang berjalan di belakangnya. Dia memegangi pundak Nandar dan menatapnya dengan tajam. Nandar sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukan Hartanto padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun