"Tidak juga, hanya saja manusia tidak bisa hidup tanpa keinginan, kalau orang Jawa mengatakan hidup manusia tanpa pamrih. Bukan tidak bisa, teramat susah untuk mencapai tahap itu. Kamu harus bisa mengalahkan nafsu." Nandar diam sejenak merenungi kata-katanya. "Manusia, memang harus melepaskan pamrih yang negatif dan terus berusaha melakukan, sebenarnya dituntut, untuk melakukan kebaikan-kebaikan."
"Mati selagi hidup, hidup selagi mati, seperti yang sering dikatakan oleh Orang Tua?"
"Mungkin, Har. Mungkin. Aku tidak terlalu memahami ini. Semua ini pada akhirnya sampai pada apa yang sering dibilang ‘Orang Tua' sebagai ilmu sejati, seperti al-Hallaj, Syekh Siti Jenar dan para pengikut aliran ini. Butuh sesuatu yang lebih untuk bisa memahami dan kemudian mempraktekkannya."
Hartanto memandangi Nandar, mencoba menelusuri kata-kata seorang santri yang selama hidupnya terus berada di pesantren. Nandar memang terlihat ragu dengan setiap kata-kata yang dia ucapkan, tapi apa bedanya kalau semua ini telah ada di dalam buku-buku yang dijual dengan harga pasar. Tentunya bukan lagi ilmu sejati kalau hanya mengenai istilah-istilahnya, pikir Hartanto.
"Coba kamu bayangkan ungkapan yang menjadi tujuan mereka, bersatunya Tuhan dengan abdi-Nya. Semua itu absurd bagi orang yang benar-benar tidak memahaminya. Lagi pula, semua itu dapat dicapai dengan beberapa tahap yang harus dilalui oleh seorang manusia. Aku lupa, apa saja tahap-tahap itu." ucap Nandar yang tengah berusaha keras mengingat kata-kata selanjutnya.
"Sarengat, tarekat, hakekat, dan mahrifat."
"Yah itu. Kamu sebenarnya tahu soal ini, latar belakang keluargamu menjadi gambarannya. Tapi, walau kita tahu ilmunya, tapi teramat susah pelaksanaannya." Nandar menghela nafas dengan berat.
Hartanto tersenyum sekali lagi mengagumi cara berpikir Nandar. Banyak hal yang sudah ia dapatkan selama bersama Nandar, ilmu, persahabatan dan cara menghadapi hidup. Hartanto banyak belajar.
"Kamu mengujiku, Har?" tanya Nandar dengan tiba-tiba.
"Aku tidak pernah menguji seseorang!" jawab Hartanto sambil menggelengkan kepala dan menyuguhi sahabatnya dengan senyuman.
"Baru saja aku ingat," sahut Munandar cepat dan memandangi Hartanto yang tersenyum kecil, "kalau kamu lahir dalam keluarga Kejawen, tapi kenapa kamu menanyakan ini? Seolah-olah kamu tidak mengetahuinya."