"Hanya ingin tahu dari sudut pandangmu. Tidak lebih." Sahut Hartanto dalam senyuman kecil.
"Kamu sudah mendapatkan itu dan sekarang aku minta imbalannya. Kamu harus temani aku berangkat ke kampus."
"Kamu tidak bisa memaksaku!" jawab Hartanto tegas sambil menggelengkan kepala.
"Kapan aku pernah memaksamu, Har! Aku minta tolong, dengan sangat!" Ungkap Nandar sambil tersenyum.
Nandar tahu kalau Hartanto tidak akan pernah bisa menghindar dari orang yang sudah meminta tolong padanya. Walau terkadang, orang itu akan banyak membuatnya merasa tidak diuntungkan, sebagai korban dari kepentingan seorang teman. Tapi, tetap saja Hartanto membantu dengan senyum dan ikhlas.
"Aku juga sudah lama tidak berangkat ke Kampus. Setiap ada niat pasti aku akan langsung merasa malas dan akhirnya hanya singgah di Kedai."
"Kamu memang belum berubah, Har. Dari dulu saat kita pertama kali bertemu dan bekerja sama, sifatmu masih tidak berubah. Tapi itulah dirimu, saat kamu sedang ingin bekerja, tidak ada yang bisa menghentikan. Siang dan malam terus saja di depan komputer, sampai kamu membuat aku merasa tidak berguna. Semangat dan keinginanmu menggapai sesuatu sangatlah besar. Tapi, lain cerita lagi kalau kata malas itu ada dalam dirimu, kamu berhenti bekerja, seperti mesin yang kehabisan bahan bakar. Tidak bergerak sama sekali."
"Apa ada yang bisa mengobati rasa malas seseorang."
Nandar mengangkat bahu sambil mendesah dengan berat. "Seharusnya semangatmu dapat mengalahkan sifat malasmu."
Hartanto selama beberapa waktu ini selalu menghabiskan hari-harinya di Kedai Cangkir. Duduk diam di sana atau bersama Fais, kadang bertemu orang-orang baru yang memperkaya pengalamannya. Tetap saja, walau apa yang di dapatkan di Cangkir bisa dibilang sepadan, namun semuanya itu hanyalah pelarian saat ada kata malas.
"Beberapa hari ini, aku memang tidak bersemangat. Ada yang mengganjal di sini." Ucapnya sambil menunjuk ke dalam dadanya sendiri.