Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 10)

16 Januari 2010   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di dalam kantin Hartanto melihat Fais yang duduk sendirian. Orang-orang yang di sana tidak ada yang mereka berdua kenal selain pemilik kantin dan Fais. Menjadi aneh rasanya saat berjalan di antara pandangan orang-orang yang sambil tersenyum dengan sinisnya.

"Akhirnya kalian datang juga," sambut Fais saat melihat kedatangan Nandar dan Hartanto. "Sudah lama aku duduk sendirian, akhirnya satu keajaiban terjadi."

Fais merasa senang bertemu dengan Nandar dan Hartanto. Dia seperti baru saja mendapatkan hadiah dengan jumlah yang banyak. Selama beberapa bulan, Fais merasa tinggal sendirian sampai bertemu dengan rekan seangkatan dan sekelas. Nandar adalah teman pertamanya saat pertama kali Fais menginjakkan kaki di Yogyakarta. Saat belum mendapatkan indekos, Fais sempat menginap di Pondokkannya Nandar.

"Kemana saja kamu, Ndar?" tanya Fais dalam senyumannya yang lebar.

"Aku pulang, mengurusi sawah sama sapi-sapinya bapak, jadi kuliah terpaksa aku tinggalkan." Jawab Nandar sambil tersenyum.

"Aku kira kalian sudah wisuda." Ucap Fais pelan.

"Kami kira kamu sudah wisuda, Is." Sambung Hartanto.

"Ah, aku masih lama." Fais menerawang jauh membayangkan masa depannya saat upacara Wisuda dilaksanakan. Kemudian menggelengkan kepala ragu dengan impian itu. "Aku tidak tahu apa masih ada kesempatan untuk mendapatkan gelar. Kuliahku sangat kacau!"

"Kuliah kita semua sama-sama kacau. Tapi bukan nilai yang menjadi ukuran. Nanti kita akan wisuda bersama-sama." Ucap Nandar sambil menepuk bahu Fais dan ia melirik ke jari-jari yang mengapit rokok. Nandar sedikit kaget dengan perubahan Fais, selama hampir empat tahun ia kenal belum pernah ia melihat Fais merokok. Tapi, sekarang sudah sangat ahli mempermainkan rokok dalam lentik jari.

"Thanks, Ndar!" sahut Fais bahagia karena mendapatkan teman dan dukungan untuk menyelesaikan studinya.

"Lebih baik, kita mengalir saja soal kuliah. Lagi pula, ijazah bukanlah segala-galanya. Pintar atau tidaknya seseorang tidak bisa diukur dari ijazahnya, kan. Tapi dari bagaimana dia menjalani kehidupannya."

"Sinting!" gumam Nandar pelan.

"Bagaimana pun juga, Har, yang orang lihat untuk pertama kali adalah latar belakang pendidikan, yang berarti ijazahnya. Percuma walau ilmu kita setinggi langit tapi kalau tidak mempunyai ijazah. Kita pasti membutuhkan adanya pengakuan, dan hanya dengan ijazah itu kita akan mendapatkan pengetahuan dan senjata." Ucap Fais panjang.

"Sedikit banyak, Fais benar. Pikiranmu itu ada di awang-uwung." Ungkap Nandar sambil menunjuk ke pelipisnya.

"Melamar pekerjaan sebagai tukang sapu saja butuh ijazah minimal SMP, walau kita sama-sama tahu, orang tetap bisa menyapu tanpa sekolah terlebih dahulu."

"Berarti aku bersyukur karena itu," Fais dan Nandar memperhatikan Hartanto yang tersenyum, mereka berdua heran. "Aku perlu bersyukur, karena pekerjaanku tidak membutuhkan ijazah, tapi kemauan dan kerja keras."

Fais mengernyitkan dahi sehingga garis-garis di keningnya terlihat jelas. Sementara Nandar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, tidak perduli dengan ucapan Hartanto.

"Apa menjadi petani butuh ijazah?" tanya Hartanto memendam kebanggaannya sendiri.

Fais tertawa lantang sampai menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung kantin. Bagi mereka, sikap Fais sangat memuakkan, seperti orang yang tidak pernah mendapatkan sopan santun. Tapi, bagi pemilik kantin, itu semua ia rindukan. Keceriaan di dalam kantinnya yang membuatnya selalu terhibur di tengah-tengah tawa yang saling bersahutan.

"Pikiranmu memang ada di awang-uwung, Har. Kelakar yang bagus." Ucap Fais sambil berdiri menuju ke kasir untuk mengambil sebungkus rokok.

"Apa tadi aku seperti berkelakar saja?" tanya Hartanto pada Nandar setengah berbisik. Sedangkan Nandar mengangkat bahu tanpa ekspresi.

Hartanto kemudian melinting tembakau yang dia simpan di dalam kotak yang terbuat dari pandan. Dia melinting dengan tenang walau beberapa orang melihatnya dengan sinis. Ia tetap menikmati hidupnya tanpa beban tentang penilaian orang lain terhadap dirinya. Persetan dengan penilaian, orang lain hanya menilai dari luar tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui. Kemudian mereka menghakimi tanpa persidangan dan pembelaan. Orang hanya menilai, sedang kita sendiri yang harus berjuang merasakan pahitnya hidup, pikir Hartanto menciptakan kebenaran untuk dirinya sendiri. Sedangkan, orang lain tidak pernah tahu pahitnya tembakau yang harus dihisap bapak saat berada di tengah sawah, saat hujan, saat panas membakar kepala.

Bersambung ke Noumenus (Babak 11)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun