"Sinting!" gumam Nandar pelan.
"Bagaimana pun juga, Har, yang orang lihat untuk pertama kali adalah latar belakang pendidikan, yang berarti ijazahnya. Percuma walau ilmu kita setinggi langit tapi kalau tidak mempunyai ijazah. Kita pasti membutuhkan adanya pengakuan, dan hanya dengan ijazah itu kita akan mendapatkan pengetahuan dan senjata." Ucap Fais panjang.
"Sedikit banyak, Fais benar. Pikiranmu itu ada di awang-uwung." Ungkap Nandar sambil menunjuk ke pelipisnya.
"Melamar pekerjaan sebagai tukang sapu saja butuh ijazah minimal SMP, walau kita sama-sama tahu, orang tetap bisa menyapu tanpa sekolah terlebih dahulu."
"Berarti aku bersyukur karena itu," Fais dan Nandar memperhatikan Hartanto yang tersenyum, mereka berdua heran. "Aku perlu bersyukur, karena pekerjaanku tidak membutuhkan ijazah, tapi kemauan dan kerja keras."
Fais mengernyitkan dahi sehingga garis-garis di keningnya terlihat jelas. Sementara Nandar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, tidak perduli dengan ucapan Hartanto.
"Apa menjadi petani butuh ijazah?" tanya Hartanto memendam kebanggaannya sendiri.
Fais tertawa lantang sampai menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung kantin. Bagi mereka, sikap Fais sangat memuakkan, seperti orang yang tidak pernah mendapatkan sopan santun. Tapi, bagi pemilik kantin, itu semua ia rindukan. Keceriaan di dalam kantinnya yang membuatnya selalu terhibur di tengah-tengah tawa yang saling bersahutan.
"Pikiranmu memang ada di awang-uwung, Har. Kelakar yang bagus." Ucap Fais sambil berdiri menuju ke kasir untuk mengambil sebungkus rokok.
"Apa tadi aku seperti berkelakar saja?" tanya Hartanto pada Nandar setengah berbisik. Sedangkan Nandar mengangkat bahu tanpa ekspresi.
Hartanto kemudian melinting tembakau yang dia simpan di dalam kotak yang terbuat dari pandan. Dia melinting dengan tenang walau beberapa orang melihatnya dengan sinis. Ia tetap menikmati hidupnya tanpa beban tentang penilaian orang lain terhadap dirinya. Persetan dengan penilaian, orang lain hanya menilai dari luar tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui. Kemudian mereka menghakimi tanpa persidangan dan pembelaan. Orang hanya menilai, sedang kita sendiri yang harus berjuang merasakan pahitnya hidup, pikir Hartanto menciptakan kebenaran untuk dirinya sendiri. Sedangkan, orang lain tidak pernah tahu pahitnya tembakau yang harus dihisap bapak saat berada di tengah sawah, saat hujan, saat panas membakar kepala.