Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 12)

21 Januari 2010   00:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usaha Hartanto ternyata tidak sia-sia. Rena melepaskan pegangannya walau masih menyisakan ketidakrelaan saat Hartanto akan meninggalkan dirinya. Lain halnya dengan Hartanto yang langsung merasa lega karena bisa segera berlalu seperti apa yang sebenarnya dia inginkan. Menjalani hari dengan tanpa mendengarkan tangis dan keluh-kesah Rena. Setelah pergi, Hartonto hanya menelusuri jalan dengan rasa malas yang meresapi pikiran saat matahari terasa panas memanggang kepadalanya. Rasa haus pun menjalar menuju kerongkongan dan Hartanto berhenti di bawah pohon, mengeluarkan lintingan tembakau yang tadi tidak sempat dirokok. Ia pun mulai merokok sambil bersandar pada pohon Palem.

"Kamu kenapa, Ren?" tanya Nandar dengan suara serak.

"Aku tidak kenapa-kenapa." Ucap Rena sambil menghapus air mata yang terus meleleh. "Kabarmu bagaimana, Ndar?"

"Aku?" tanya Nandar pelan dengan melihat Rena yang menganggukkan kepala sambil tersenyum, yang masih tetap terlihat cantik walau habis menangis. "Baik," lanjutnya dengan senyuman yang seperti dulu, senyuman yang penuh dengan harapan.

"Beberapa orang memang dilahirkan dengan keberuntungan tapi beberapa yang lain tidak,"

"Kamu termasuk yang mana, Ren?" tanya Nandar sambil menghadirkan senyuman kecil.

Rena hanya menghadirkan senyuman kecil yang kemudian menundukkan kepala. "Aku mungkin termasuk orang yang tidak dilahirkan dengan keberuntungan." Ucap Rena sambil merasakan dadanya begitu perih.

"Jangan terlalu didramatisir, semua orang lahir dengan nasibnya sendiri-sendiri. Lahir dengan keberuntungan dan kesialannya sendiri-sendiri. Beruntung atau tidak beruntung, semuanya hanya terletak di sini, di dalam hati setiap manusia. Hanya tinggal bagaimana kita menghayati setiap hal, menjadikannya sebagai keberuntungan atau sebagai kesialan. Semua ini tergantung dari bagaimana penerimaan hati kita pada takdir yang sudah terjadi."

"Aku perlu waktu untuk mengerti,"

"Bukan untuk dimengerti dengan pikiran kita, Ren!" Nandar menggelengkan kepala. "Hidup seperti halnya seni yang harus dirasakan dengan hati, dengan rasa ikhlas menerima setiap kehendak Tuhan. Penerimaan itulah yang ibarat merubah penderitaan menjadi rasa yang menyenangkan dan kesenangan menjadi syukur. Bagaimana kita merasakannya, bagaimana kita menghayati yang menentukan semua itu."

"Kamu mulai seperti Hartanto," Rena tersenyum kemudian mengarahkan pandangannya ke arah di mana Hartanto pergi. "Empedu, kalian coba jadikan madu dengan kata: penerimaan. Tapi tetap saja itu adalah empedu. Pahit!"

"Mungkin," sahut Nandar lemah.

"Kata: mungkin, selalu kalian gunakan untuk menjawab setiap persoalan." Sahut Rena dengan tetap memandang ke arah Hartanto pergi.

"Aku tidak tahu kebenarannya, setidaknya, di dunia ini memang penuh dengan kemungkinan. Tidak ada yang pasti. Bergantung dari sudut pandang seseorang."

Rena tersenyum sambil tertunduk. Ia merasa kalau Nandar dan Hartanto adalah dua orang dengan jalan pikiran yang sama, entah siapa yang mempengaruhi siapa, tapi sama-sama menilai semuanya dari sudut pandang manusia.

"Ndar, apa benar kalau setiap yang terjadi pada seseorang adalah takdir yang sudah digariskan dan seperti itulah jalan yang harus ditempuh?" Rena menatap Nandar yang memandanginya penuh harap. "Aku tidak mau ada kata mungkin,"

"Tuhan memang sudah menggariskan setiap nasib manusia."

"Hidup manusia seperti para pemain sandiwara, sesuai dengan naskah yang sudah ditulis dan diingini oleh Sang Sutradara?"

"Bisa dibilang seperti itu. Ada ungkapan, dunia adalah panggung sandiwara," Nandar langsung terdiam cukup lama. Takdir akan menjadi kambing hitam yang lezat, pikir Nandar resah. Tapi memang seperti itu kenyataannya, ungkap Nandar kembali, takdir dan nasib akan dipersalahkan oleh manusia dan akhirnya Tuhan akan ikut dipersalahkan atas dosa setiap orang. Manusia akan berlindung di balik ketetapan Tuhan.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun