"Kamu menyesalinya?" Hartanto mengulang pertanyaannya.
Rena menggelengkan kepalanya dengan samar. "Aku tidak tahu, Har. Aku tidak tahu, apakah aku harus menyesalinya atau tidak. Atau justru aku harus bangga dengan perjalanan hidupku yang seperti ini." Rena menerawang jauh ke dalam kegelapan sambil tertawa kecil tanpa suara. "Lubang yang dahulu kumasuki ternyata begitu dalam. Dan aku telah masuk terlalu dalam. Jauh ke dalam!"
"Sejauh kamu mampu untuk terus menikmatinya," ucap Hartanto tidak bersemangat.
"Aku memang menikmatinya!" sambung Rena tegas.
Hartanto menghela nafas mendengar tanggapan Rena. Harusnya ia tidak mengatakan itu. Sudah begitu jelas, kalau Rena sangat menikmati dunia yang kini membuatnya jatuh dalam kebimbangan, pikir Hartanto. "Lalu, kenapa kamu harus selalu mengeluhkan semua ini?"
"Itulah, Har, saat ini aku merasa kalau ini bukanlah duniaku lagi. Aku merasa asing. Bahkan kadang-kala aku merasa terbuang."
"Kenapa?" sahut Hartanto tanpa semangat.
"Aku tidak tahu," raut wajahnya terlihat letih, "Aku tidak tahu!"
"Ren, dulu kamu pernah menasehatiku seperti ini: Setiap orang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Setiap saat kita melangkah, selalu saja akan bertemu dengan persimpangan jalan. Kemudian kita harus memutuskan, jalan mana yang akan kita pilih." Hartanto berdiri kemudian berjalan dan duduk di samping Rena karena dia tidak mau memandangi mata sahabatnya yang basah.
"Aku sudah memilih!" Rena tersenyum, "Mungkin, dulu aku sudah salah memilih. Tapi aku tidak menyesalinya!"
"Mungkin,"