Setelah beberapa lama, Hartanto beranjak menuju kasir. Di sana ia bertemu Eko yang memandanginya dengan senyuman heran. "Malam ini masih menjadi malam yang spesial, kan?" tanya Hartanto sambil tertawa renyah. Ia berjalan mendekati Eko yang tetap diam di tempat duduknya. Dengan langkah yang pasti, serta raut mukanya tenang sebagai pertanda bahwa ia tidak perduli dengan kepergian Rena yang sempat menjadi perhatian para tamu yang lain.
"Entah apa yang kamu pikirkan, Mas. Aku masih tidak mengerti." Kata Eko sayup-sayup terdengar
"Tidak ada yang aku pikirkan. Tidak ada yang aku bisa harapkan dari perempuan tadi. Tapi, kenapa justru kamu yang terlihat kecewa?" tanya Hartanto heran.
"Soal wanita cantik tadi?" tanya Eko, "Apa yang kurang, Mas? Tidak ada! Bahkan bisa dibilang kalau dia tadi begitu perfect." Jelas Eko pelan.
"Yah, perfect!" Sambung Hartanto dengan ragu. "Kamu bisa bilang kalau perempuan tadi perfect. Sempurna. Bahkan seluruh orang di sini akan bilang kalau dia begitu sempurna. Yah, mungkin sempurna!" kata Hartanto sambil menerawang jauh. "Mungkin, mataku memang sudah buta."
"Bukan itu maksudku, Mas. Setiap orang memang punya ukurannya masing-masing untuk menilai sesuatu. Apalagi kalau masalah wanita,"
"Heh... Perempuan!" Hartanto tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia menjadi teringat pada Kemuning seorang perempuan desa yang telah mengikat hatinya dengan ketidak-sempurnaan. Kemuning memang tidak bisa dibandingkan dengan Rena. Kemuning bukanlah wanita yang cantik, seksi dan kaya. Tapi Kemuning tetap Kemuning dan Rena adalah tetap Rena. Keduanya tidak bisa dibanding-bandingkan. Hartanto menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak!" katanya dalam hati. "Rena tidak mampu dibandingkan dengan Kemuning. Rena tidak sebanding dengan Kemuning. Mungkin dulu," lanjutnya.
"Tapi, semoga saja aku tidak salah, Ko. Kalau pun salah, ya wajar. Aku memang sudah tua," kata Hartanto sambil tersenyum dan meninggalkan Kedai Cangkir, melangkah di dalam kegelapan. Ia terus menelusuri jalan-jalan sunyi untuk mencari pembenaran bagi hatinya. Kaki-kaki jiwanya terus melangkah melewati kegelapan menjauhi keramaian dunia yang tanpa arah. Hartanto tidak pernah perduli, ia terus melangkah menyusuri jalan sunyi untuk mencari pembenaran bagi hatinya. Kebenaran yang memang hanya untuk hatinya. Untuk batinnya sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H