Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 5)

9 Januari 2010   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hartanto tertidur beberapa menit saja. Ketika Hartanto bangun dia menemukan dua gelas kopi dan langsung menyambar gelas yang masih penuh. Rasa kopi yang pahit dan manis dalam adonan rasa dia rasakan tidak lengkap saat menguap di dalam mulut. Ia pun mengambil rokok di dalam tas. Menyulut satu sambil memperhatikan Munandar yang terfokus pada buku Warisan Sufi di tangannya.

"Bagaimana kuliahmu, Ndar?" tanya Hartanto kemudian merokok.

"Kacau seperti dulu, lagi pula aku mengambil cuti selama dua semester. Jadi semuanya menjadi lebih terlihat kacau. Tapi biar saja, toh kapan pun tetap akan mendapatkan gelar sarjana. Bukan begitu?" Nandar menutup buku yang kemudian mulai merokok. "Lagi pula, aku tidak pernah memikirkan tentang kuliahku. Aku ingin melakukan suatu keinginan yang tertunda."

"Lalu apa yang akan kamu lakukan, karena tidak mungkin kamu akan bertahan dalam situasi seperti ini terus. Dunia terus bergerak dan kalau kita seperti ini, kita akan tertinggal jauh."

"Aku tahu. Aku hanya ingin berangkat ke Mekah dulu!"

Hartanto memandangi sahabatnya dengan eskpresi kaget. Yang membuatnya kaget bukan permasalahn Mekah atau hal yang dia inginkan di sana tapi karena tiba-tiba Mekah seolah-olah menjadi tempat yang baik untuk mencari suatu penjelasan.

"Kamu mau kuliah di sana atau,"

"Hati manusia akan menjadi tenang kalau menyerahkan hati pada kekuatan aduniawi yang lebih tinggi. Setidaknya, di sanalah Tuhan dapat kita jumpai."

Semakin Hartanto diam menerawang jauh menerobos tembok. Lalu saat ia melihat pada Munandar yang tenggelam dalam kekhusyukannya yang tersendiri, Hartanto mencoba untuk mengais-ngais perasaan yang disembunyikan Nandar lewat senyumannya yang manis. Hartanto merasa kalau Nandar dalam setiap detiknya semakin terseret dalam kegalauan hati yang tidak pernah dia ungkapkan.

"Aku ingin mengaduh dan mengeluh di sana!"

"Apa saat kamu di sini, tidak bisa mengaduh dan mengeluh? Kamu sembahyang lima kali dalam sehari, apa itu masih kurang cukup untuk hanya sekedar hanya berkeluh kesah?"

"Berbeda, Har! Sangat berbeda andai kita berada di atas Tanah Suci, mengijak tanahnya dan menghadap pada Tuhan."

"Tuhan itu, tidaklah dijumpai di Mekah tetapi dapat dijumpai di dalam hati manusia itu sendiri." Ucap Hartanto pelan dalam renungan.

Nandar tersenyum kecil mendengarnya. Ia tidak terlalu memikirkan semua pendapat Hartanto kalau itu berhubungan dengan suatu kepercayaan, agama seseorang. Sedangkan Nandar sendiri tahu, orang macam apa yang saat ini sedang berada di hadapannya. Hartanto lahir, tumbuh menjadi besar dalam keluarga Kejawen yang sudah semestinya kalau dalam urat syaraf Hartanto berbau dengan mistik, klenik, atau pun segala sinkreteisme.

"Aku setuju!" ungkap Nandar sambil menganggukkan kepala, "Aku tetap ingin ke Mekah, aku akan menjumpai Tuhan di dalam batin sesampainya di sana."

Hartanto mengerutkan dahi sambil perlahan-lahan menganggukkan kepala. Dalam hati ia tersenyum, salut dan bangga pada temannya yang tidak pernah mempermasalahkan arti perbedaan dalam pendapat, lebih jauh dalam agama. Hidup bersama Nandar walau berada dalam jutaan warna namun tetap menjadi satu: Manusia. Inilah yang selama ini membuat Hartanto tetap menghargai persahabatannya dengan Munandar, mereka terus saling memahami agar dapat selalu hidup dengan rukun.

Keduanya terus berbicara soal apa saja. Rena tidak disebut-sebut kembali, namun, ia telah menancapkan akar dengan dalam di hati Nandar. Sejenak menjadi bayangan yang sangat ia rindukan, sejenak menjadi mimpi yang ingin digapai. Namun semakin ia berharap, semakin ia merasa ragu dengan dirinya sendiri. Akhirnya, semua yang dia lakukan hanya seperti pelarian belaka. Mekah pun kan tetap menjadi pelarian. Bagaimana pun juga Nandar terus berusaha untuk lepas dari keinginan-keinginan duniawi. Sampai menemukan satu konsekuensi, ia harus melepaskan Rena dari keinginan hatinya yang selama bertahun-tahun hidup dalam harapan.

"Hari ini kamu mau ke mana?" tanya Nandar berharap pada sesuatu.

"Aku mau pulang! Aku mau tidur dengan nyenyak tanpa beban di hati dan pikiranku."

"Mati!"

"Apa?" tanya Hartanto dengan kaget.

"Orang tidak akan bisa tidur nyenyak kalau masih hidup di dunia ini. Bagaimana pun juga, harapan dan keinginan yang belum terwujud akan membuat tidur tidak nyenyak. Kalau pun bisa nyenyak, kamu tidak akan bisa lepas dari beban, kecuali mati!"

"Itu lah keinginanku dalam hidup, Ndar." Hartanto menerawang jauh ke dalam lubuk hatinya. "Aku ingin bebas dari keinginan-keingianku."

"Iya, hanya dengan kematian kamu bisa mencapai itu semua. Orang yang hidup tanpa keinginan seperti mayat tapi bisa berjalan. Orang gila saja punya keinginan apalagi manusia yang waras."

"Menurut kamu itu hal yang mustahil?" tanya Hartanto dan Nandar hanya menggelengkan kepala dalam senyuman. "Lalu bagaimana?"

Bersambung ke Noumenus (Babak 6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun