Mohon tunggu...
Muhammad Catur Nugraha
Muhammad Catur Nugraha Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Young Engineer dan Tukang Ngelayap

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kebhinekaan di Pendakian Gunung Papandayan

6 November 2014   18:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:28 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya saya mendaki dengan rekan kerja dari kantor yang sama seperti saat mendaki Gunung Gede , identitas yang sama seperti saat mendaki Gunung Lawu, kadang juga hanya berdua dengan teman seperti ketika mendaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi , namun kali ini saya mencoba mendaki dengan kelompok yang berbeda, saya mencari berbagai ajakan mendaki di berbagai forum pecinta alam lalu saya dapatkan Pendakian Gunung Papandayan pada tanggal 21 – 23 Februari 2014, Karena ditanggal tersebut saya belum ada jadwal mendaki maka saya nyatakan keikutsertaan dalam pendakian tersebut.

Hari yang dinanti pun tiba, Jum’at malam setelah jam kerja saya menuju Terminal Kampung Rambutan yang disepakati sebagai meeting point tepatnya di Masjid dekatnya pintu masuk terminal ini. Ternyata ketika saya sampai sudah semua rekan pendaki telah sampai lebih dulu, saya pun berkenalan dengan mereka. Ada yang unik dari kelompok kali ini, selain kami tidak kenal satu sama lain sebelumnya , kelompok ini juga berasal dari latar belakang suku yang berbeda – beda namun tetap satu Indonesia, ada yang dari Sunda, Flores, Batak dan yang paling dominan di kelompok ini dari keturunan Tionghoa, dari belatar belakang agama pun juga demikian ada yang Islam, Kristen dan Konghucu. Dengan latar yang berbeda tersebut akan kah pendakian ini berhasil?

Setelah dirasa semua anggota kelompok sudah lengkap kami pun menuju tempat bus tujuan Garut menunggu penumpang. Kamisegera naik ke bus tersebut dan duduk berdekatan agar mudah dalam koordinasi ketika sampai Terminal Garut nantinya.

Setelah 3 jam perjalanan sampailah kami di Terminal Guntur, Garut. Kami berkumpul di teras rumah dekat dengan masjid, saat adzan shubuh tiba saya dan teman – teman yang muslim ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat shubuh, tas keril yang kami bawa dijaga oleh teman – teman non muslim.

Selesai shalat shubuh kami berkumpul lagi di depan terminal untuk naik angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan, dengan kerja sama yang baik keril bisa ditampung diatas angkot sehingga hanya penumpang saja di dalam angkot tidak berdesakan dengan keril.

Kami pun sampai di Cisurupan, disini kami akan lanjutkan menuju Camp David yang merupakan titik awal pendakian Gunung Papandayan, untuk mencapai Camp David kami menggunakan mobil bak terbuka dengan biaya 300 ribu sekali antar.

[caption id="attachment_372415" align="aligncenter" width="512" caption="Sampai di Cisurupan"][/caption]

Jam 08.00 kami sampai di Camp David, kami pun langsung menuju ke salah satu warung untuk sarapan sekaligus istirahat. Jam 09.00 ketika semua sudah siap kami pun memulai pendakian ini. Kami jalan beriringan dan saling berdekatan supaya tidak ada satu pun kawan yang terpisah. Awal jalur di Gunung Papandayan adalah melewati kawah yang masih aktif dan mengeluarakan aroma belerang yang menyengat, 1,5 jam berjalan kami berhenti untuk beristirahat sekaligus berfoto – foto bersama layaknya sebuah keluarga dengan latar Kawah Papandayan.

[caption id="attachment_372417" align="aligncenter" width="512" caption="Istirahat "]

1415242105234354828
1415242105234354828
[/caption]

[caption id="attachment_372421" align="aligncenter" width="512" caption="Foto bersama dengan latar kawah Papandayan"]

1415242315785252138
1415242315785252138
[/caption]

Setelah sudah fit kembali dengan suasana yang tetap ceria kami melanjutkan pendakian ini melewati hutan mati yang berupa batang – batang pohon yang mengitam akibat hangus terbakar saat erupsi Papandayan pada tahun 2002, walaupun pohon tersebut sudah mati tidak hanya menghadirkan suasana yang cukup mencekam namun juga menciptakan panorama yang eksotis, tak lengkap rasanya jika tidak berhenti untuk berfoto bersama disini.

[caption id="attachment_372433" align="aligncenter" width="512" caption="Foto bersama di Hutan Mati Papandayan"]

1415242977885695362
1415242977885695362
[/caption]

Setelah puas berfoto ria di Hutan Mati kami pun melanjutkan perjalanan hingga akhirnya kami sampai di Pondok Salada yang merupakan tempat yang menjadi camping ground di Papandayan. Kami pun langsung mengeluarkan tenda dan mendirikannya secara bersama, dan dengan kerja sama yang apik 4 tenda berhasil kami dirikan dalam waktu yang cukup singkat. Setelah tenda berdiri kami pun saling membantu dalam masak – memasak untuk makan siang kami bersama. Nasi, sosis goreng, nugget, sarden pun bisa kami hidangkan siang itu dan kami makan secara damai dan hangat dalam dinginnya udara Papandayan.

Malam harinya kami tidak hanya berdiam diri dalam tenda masing – masing namun kami melakukan sesi saling perkenalan lebih intens, dan saling mengobrol tentang pengalaman masing – masing dalam wisata ke tempat – tempat indah di Indonesia. Meski malam itu sangat dingin karena angin yang cukup kencang namun suasana akrab nan damai mampu menghangatkan kami semua terbukti dengan kuatnya kami berada di luar tenda saling bercengkerama.

Karena dirasa sudah sangat malam kami pun beranjak menuju tenda kami masing – masing untuk beristirahat karena keesokan paginya kami akan melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun.

Pagi itu setelah sarapan bersama kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun, dari Pondok Salada ke Tegal Alun dibutuhkan waktu sekitar 1 -2 jam tergantung stamina masing – masing. Karena banyak dari kami yang masih baru mencoba mendaki jadi perjalanannya agak lama, saya yang sudah berpengalaman 2 kali mendaki Papandayan bersedia menjadi orang yang paling belakang atau sweeper untuk memastikan tidak ada yang ketinggalan.

Sepanjang jalan menuju Tegal Alun kami selalu berhenti untuk foto bersama, tidak ada sekat sama sekali diantara kita, wajah – wajah ceria terpancar dari kami. Inilah indahnya bersama.

[caption id="attachment_372453" align="aligncenter" width="512" caption="Foto bersama saat menuju Tegal Alun"]

14152453331676889611
14152453331676889611
[/caption]

Akhirnya sampai juga kami di Tanjakan Mamang yang menjadi tantangan terberat untuk sampai ke Tegal Alun, kami saling bahu membahu, saling menjulurkan tangan supaya semua kawan bisa melewati tanjakan tersebut. Setelah Tanjakan Mamang tidak jauh lagi sampailah kami di Taman Edelweiss Tegal Alun.

[caption id="attachment_372459" align="aligncenter" width="512" caption="Foto bersama sebelum menanjak di Tanjakan Mamang"]

14152459141677841409
14152459141677841409
[/caption]

Di Tegal Alun banyak kami habiskan waktu dengan berfoto bersama dengan latar taman edelweiss yang saat itu sedang bermekaran bungannya menambah indahnya suasana.

[caption id="attachment_372461" align="aligncenter" width="512" caption="Kami di Tegal Alun"]

14152461161401971683
14152461161401971683
[/caption]

[caption id="attachment_372462" align="aligncenter" width="512" caption="Di Hamparan Taman Edelweiss"]

14152461711615055462
14152461711615055462
[/caption]

Sekitar 1,5 jam kami habiskan waktu bersama di Tegal Alun, kami pun kembali turun ke Pondok Salada kemudian makan siang terlebih dahulu lalu membereskan semua perlengkapan kami dan tak lupa membawa sampah yang kami hasilkan dari kegiatan kemping kami.

[caption id="attachment_372466" align="aligncenter" width="512" caption="Foto bersama di Pondok Salada sebelum kembali turun"]

14152465931225621331
14152465931225621331
[/caption]

Sebelum beranjak dari Pondok Salada tak lengkap rasanya jika tidak mengambil foto bersama, setelah itu kami pun turun kembali menuju Camp David, 3 jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai Camp David, beristirahat sebentar lalu mencari mobil bak terbuka yang sedang kosong untuk membawa kami ke Cisurupan, dari Cisurupan naik angkot menuju Terminal Guntur dan dari terminal ini kembali ke Jakarta dengan naik bus.

Dari pendakian ini saya memahami bahwa pada hakikatnya memang negeri ini memiliki suku, agama yang beragam, namun tidak seharusnya itu menjadikan kita tercerai berai dan saling bermusuhan, memang kita tidak bisa disatukan namun untuk bersatu pasti bisa, saling bekerja sama dan toleransi antar sesama itu bisa kami buktikan dalam pendakian ini, berawal dari saling tidak kenal, lalu menjalani pendakian bersama, mendaki dengan suasana yang akrab dan damai bisa kami lakukan.

Damai itu indah, kawan.

Temukan Indahnya Indonesia di http://www.indonesia.travel/wonderfulindonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun