Cuaca memang sedang tidak bersahabat. Bagaimana tidak, sejak pagi, sang mentari tak muncul, sampai siang suasana terus redup, mendung rata. Hari ini, aku berencana menjemput Tole pulang sekolah di gerbang komplek. Pengalaman kemarin, hujan turun deras, si anak malah berjalan santai sampai rumah tanpa menutup kepala, padahal dia bawa payung dan topi lho. Ah, namanya anak, merasa gak penting kali ya.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.20, aku bersiap-siap. Mengenakan jaket, menenteng payung besar untuk jaga-jaga kalau hujan jadi turun. Sambil berjalan pelan, karena badan masih tidak terlalu fit, menuju gerbang komplek untuk mencari posisi, supaya bisa bertemu Tole. Nah, benar saja, baru jalan sebentar, hujan sudah menyambutku. Payung dikembangkan, terus berjalan menuju jalan raya.
Aku berdiri di pinggir gerbang dengan harapan mudah berjumpa anakku. Terus berdiri ditemani payung, mengamati angkot-angkot yang berhenti dan menurunkan penumpang, berharap salah satu penumpangnya adalah Tole. Hujan makin deras, kakiku mulai basah karena cipratan hujan, walah....belum juga tampak wajah mungilnya. Sudah banyak mobil biru itu berhenti tapi belum ada anak berseragam putih merah turun. Mungkin masih dalam perjalanan.
Aku menunggu, sambil menguatkan diri supaya gak oleng. Walah, basah sudah celana ini karena derasnya. Aku jadi ingat mba PRTku #zamanold, kalau hari hujan seperti ini pasti menungguku dengan setia di gerbang ini, tahu kalau anak momongannya gak bawa payung dan khawatir tas sekolah basah. Beberapa kali memang aku pulang dalam keadaan basah kuyup, walhasil itu buku-buku menjadi langgangan setrikaan kalau gak hairdryer. Aku gak mau Tole kebasahan, kehujanan dan buku-bukunya menjadi rusak, karena itu aku mengajak badan ini berdiri menantinya. Kapan datangnya sih?
Mobil biru melipir, mendekati gerbang, kulihat ada 2 bocah berseragam SD turun, ah ada yang mungil badannya, itu pasti Tole. Akhirnya, turun juga dia dari angkot. Dan benar saja, tak mengeluarkan topi ataupun payung. Langsung kuhampiri untuk kupayungi. Kami menepi sebentar untuk mengeluarkan payung dari tasnya. Lega hatiku karena kini dia sudah menggunakan payung, tasnya terlindungi apalagi kepalanya, itu yang utama. Kami memulai jalan menuju rumah, beriringan, sambil mencari jalan yang tidak tergenang air. Lega rasanya melihat dia terlindungi, walau kaki ini terus kebasahan terkena air yang mulai tinggi di beberapa titik jalan.
 Ah....Gusti, inilah rasanya jadi ibu. Ada rasa untuk terus berusaha melindungi anaknya, mengasihi anaknya, bahkan hanya sekedar memayungi dan menunggunya pulang sekolah. Kini aku tahu rasanya menjadi ibu, mengasihi tanpa berpikir untung rugi karena memang sudah tugasnya, mungkin gak nampak karena seperti biasa saja. Tapi semua itu adalah perasaan yang muncul karena ikatan sayang yang terbangun antara ibu dan anak. Gak bisa bohong kita bahwa kita dibekali rasa kasih itu olehNya, ditunjukkan dan dicontohkan secara nyata oleh Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita, manusia.  Jadi, kalau kamu dikasihi orang tuamu dan gak merasa.....tunggulah saatnya menjadi orangtua, rasa itu akan berulang.Â
Kasih ibu sepanjang masa....itu benar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H