Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang memberi ruang untuk menulis pengalaman dan ikut mengkampanyekan "Kerja Layak PRT dan STOP PRT Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PR: Beban atau Uji Kemandirian?

20 Oktober 2017   14:47 Diperbarui: 20 Oktober 2017   15:41 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore ini menjadi ajang pembuktianku, apakah aku sudah menerapkan tips belajar ala Finland kepada anakku. Sehari setelah aku menuliskan topik tentang Reses dan mendapat tanggapan dari teman-teman, yang notebene juga guru di berbagai tingkatan, aku melihat anakku pulang tanpa senyum. Dia membawa "beban" PR 3 bendel, yang masing-masing berisi 50 soal. Maklum, sudah kelas VI, sehingga hampir tiap hari mendapat PR dan mempersiapkan ulangan untuk keesokan harinya. Benarkah pendidikan ala Finland tidak membuat para siswanya merengut dan tidak terhantui oleh ujian-uijan? Tampaknya, aku harus mengeksplore lebih dalam apa yang dimaksud dalam buku Teach Like Finland, untuk diujicoba pada anakku!

Aku berusaha untuk tidak membuat beban baru di rumah. Begitu membaca dan mengenali jenis soal-soalnya, aku mencoba berhitung sederhana. Jika 1 soal dikerjakan dalam 1 menit, berarti harus punya waktu 150 menit. Padahal, di jam 3 sore ini kami baru sampai rumah dan melepaskan haus dan lapar. Belum sempat setel tv atau pegang apa-apa, baru selesai makan siang!

Kubiarkan anakku mengambil mainan dan "leyeh-leyeh" sesukanya. Akupun duduk di teras, sambil membaca satu persatu soal dan mulai senyum sambil merengut (juga). Wah, ternyata soal-soalnya banyak yang perlu dikoreksi. Beberapa soal yang menurutku perlu diuji ke orang lain (karena mungkin aku baper), kufoto dan kukirim ke wa grup, termasuk ke suamiku. Hasilnya, sore itu cuitan-cuitan pesan membahas soal-soal ajaib yang harusnya dijawab anak-anak.  

Ada satu soal yang menggelitikku, pertanyaan tentang mesin cuci.

Hayo, silahkan dijawab. Lumayan juga mengisi tanggapan di  WA grupku, membahas jawaban yang "paling benar".  Jawabanku dan teman-teman (termasuk suamiku) condong ke A, karena jawaban yang lain lebih mudah mengundang argumen/ sanggahan. Walaupun jawaban A sebenarnya juga tidak terlalu tepat menurut polling dadakan versiku. Mari kita telaah: mencuci pakaian lebih bersih dan cepat kering. Jawaban cepat kering bisa kita lewati, karena memang mesin cuci dapat mengeringkan sekian persen lebih kuat, bahkan di beberapa merek menjanjikan kering sampai 95%. Itu tidak perlu dibantah, tapi yang mencuci pakaian lebih bersih, opo iyo? Lha, apa mesin cuci tahu letak kotoran pada pakaian yang harusnya digosok lebih intens atau menjamin semua bagian pakaian tercuci maksimal, wong mesin cuma putar-putar saja?

Satu soal saja sudah menimbulkan diskusi yang menarik. Bagaimana anakku mau lanjut ke nomor yang lain, kataku dalam hati. Nanti kuberikan contoh lagi soal yang tak kalah menarik untuk dibahas. Benar-benar sore hari yang produktif, walaupun hanya diskusi via WA.

Masih ada juga soal yang membuat anakku bertanya, "TVRI itu televisi nasional atau swasta, ma?" pada saat mau mengerjakan soal berikut.

whatsapp-image-2017-10-20-at-10-06-44-59e9a9dba01dff6ee04eec43.jpeg
whatsapp-image-2017-10-20-at-10-06-44-59e9a9dba01dff6ee04eec43.jpeg
Aku ingin memberi penjelasan, tapi kok jadi gak yakin sendiri, apa iya TVRI itu masih televisi nasional dan bukan swasta. Akhirnya mencari-cari informasi untuk meyakinkan jawaban sebelum menyampaikan ke anakku. Tapi rupanya persoalan tidak berhenti disitu. Jawaban yang benar untuk soal ini, yang mana?

Kalau melihat jawaban-jawaban, paling mendekati ke pilihan A, kan persoalan TV Swasta sudah dibahas (karena saat ini TVRI sudah masuk kategori Lembaga Penyiaran Publik. Tapi yang jadi pertanyaan anakku berikutnya, "Titian Muhibah itu tayangan apa?" Nah, lho...piye iki jawabe.

Aku mencoba merefresh memoriku. Kenal dengan nama itu tapi lupa isi tayangan itu. Yang aku tahu, itu tayangan hiburan dengan pengisi acara dari Indonesia dan Malaysia. Aku berjuang untuk memberikan jawaban terbaik agar anakku paham maksudnya. Bantuan dari mesin pencari segala pertanyaan Google-pun menjadi sandaran. Ah....itu tahun 90an kan, pantas saja, mana anakku kenal dengan tayangan itu, dia kan lahir diatas tahun 2005! Aku saja ingat-ingat lupa, apalagi dia yang tidak pernah melihat, mana ada memori dia akan tayangan tersbut.

Nah, ini masuk kategori soal yang kurang tepat, kontek waktunya tidak sesuai dengan peserta ujian/pengguna soal. Inilah yang jadi kegelisahanku, bagaimana sebuah tes dihasilkan untuk menguji kemampuan anak, apalagi untuk ujian akhir. Cukup dua soal yang kubahas, bukan mau sok tahu, tapi supaya kita punya pemahaman bagaimana seharusnya mengevaluasi kemampuan anak. Setelah ini kita bahas yuk, cara membuat soal, bukan cuma ketik pertanyaan dan jawaban-jawaban A,B,C, D.

Kemdikbud pasti sudah mempunyai standar untuk penyusunan soal, apalagi untuk ujian akhir. Para penyusun tentu sudah paham betul kaidah menyusun dan mengujicoba soal sehingga menjadi materi ujian yang layak dan siap untuk dijadikan dasar penilaian kemampuan siswa. Hal ini dulu aku pelajari untuk pembuatan alat tes saat kuliah. Jadi, setidaknya alat tes/ ujian itu sudah diujicoba sehingga didapatkan soal-soal yang berkualitas. Mudah-mudahan, contoh soal yang kubahas diatas, tidak muncul lagi saat ujian mendatang. Masih ingat kan, bahwa ujian ini nantinya harus bisa mengukur kemampuan anak, bukan menguji ala tebak-tebakan, mungkin jawaban benarnya ini itu. Soal-soal yang disajikan harusnya menguji materi yang telah diajarkan dan menguji kompetensi siswa. Tentu saja, penulisan soal-soal harus menggunakan kata yang dimengerti siswa, bukan kata-kata yang tidak dipahami karena memang tidak di konteks waktu yang tepat. Bagaimana bisa kita menanyakan sesuatu yang belum anak-anak ketahui?

Ini kerisauan mendalam seorang ibu, bukan mau menjelek-jelekan pihak manapun. Aku paham sekali, pendidikan anak tak bisa kuserahkan pada pihak sekolah saja, melainkan porsi besar bagi kami orang tua. Sehingga proses belajar juga kami lakukan dirumah, salah satunya dengan menganalisa soal dan mendiskusikan dengan anak-anak. Anak-anak bisa lho menganalisa soal yang disajikan itu oke apa tidak.  

Mengutip strategi belajar ala Finland, disana pun anak-anak punya PR lho, para siswa bukan bebas tugas, tak membuat PR. Perbedaannya, para siswa mendapat tugas pekerjaan rumah dengan jumlah (yang relatif) sedikit tapi untuk dikerjakan dalam jangka waktu tertentu. Bukannya borongan seperti Tole, dalam 1 hari dapat 150 nomor! Dan selain itu, tugas-tugas yang diberikan biasanya mudah, sehingga para siswa dapat mengerjakannya tanpa bantuan orang tua. Nah, inilah maksud pemberian PR di Finland, anak terbiasa mengerjakan tugasnya, sesuai dengan kemampuannya.

Siap ujian ya Tole, Nduk, kita pelajari soal-soal yang ada, sambil berharap bahwa penyusun soal-soal menggunakan seluruh kemampuannya untuk menyajikan materi ujian yang valid dan reliabel. Selamat mempersiapkan diri, belajar itu proses yang terus menerus. Jangan jadikan PR dan ujian sebagai beban, mari kita jadikan semua itu sebagai Uji Kemandirian.

Luv u full,

Beti.MC

#janganlupabahagia

#teachlikefinland

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun