Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Mental ala David Steindl-Rast

4 Januari 2016   08:42 Diperbarui: 4 Januari 2016   09:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu lembaga, yang menghasilkan prestasi luar biasa bukan tim yang terdiri dari orang-orang hebat. Namun justru sekumpulan orang biasa, yang bersedia untuk bekerja sama untuk membangun komunitas pembelajar. Margaret Heffernan (2015), dalam TED Talk, membagikan pengalaman hidupnya sebagai seorang CEO sukses (sumber: klik di sini). Waktu yang dibutuhkan dalam membentuk komunitas macam ini bisa panjang, atau lebih tepatnya dipastikan akan lama. Sayangnya, kebanyakan orang tidak memahami rahasia ini. Membangun masyarakat macam ini sangat sulit, terlebih karena komponen pembentuk utamanya adalah manusia yang berkehendak bebas. Dibutuhkan compassionate hearts di antara seluruh anggota komunitas tersebut. Seperti yang diingatkan oleh Robert Waldinger (2015) (sumber: klik di sini), orang-orang dewasa ini menjadi tidak sabar, dan menginginkan model a quick fix untuk mengelola kompleksitas.

Pertanyaannya adalah: di manakah letak pemersatu yang sungguh menyatu-padankan cita-cita bersama?

Untuk menjawabnya, marilah kita lihat karakter komunitas yang dipenuhi dengan racun (toxic community). Sebuah komunitas menjadi sangat beracun ketika diperoleh tanda-tanda persaingan tidak sehat. Ada kompetisi berlebihan di dalam orang-orang yang berada di dalamnya. Kompetisi menimbulkan kecurigaan satu sama lain. Apalagi, ini diperparah dengan ketidakjelasan jenis pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, berkembang kecenderungan untuk merasa diri paling benar. Suasana kerja menjadi sangat tidak sehat. Terbentuklah polaritas dan aliansi yang saling bertentangan satu sama lain.

Marilah kita belajar dari David Steindl-Rast (2013) (sumber: klik di sini), tiga tips kecil untuk membangun sikap dasar berkepedulian (compassionate). Tiga hal itu adalah STOP, LOOK, GO!

Stop

Berhentilah sejenak. Kosongkan diri. Para fenomenolog menyebutnya  sebagai metode “suspending assumptions.” Artinya, kesampingkan apa yang diyakini benar, baik, atau semestinya. Lihatlah realitas apa adanya. Peter Senge (1990), dalam bukunya The Fifth Discipline, mengingatkan, tantangan terbesar dari manusia adalah kecenderungan untuk terjebak ke dalam “leaps of abstraction.” Ini merujuk pada apa yang disebut “main asumsi.” Tidak usah jauh-jauh, kita bisa menemukan di dalam rapat. Coba lihat di sekeliling Anda. Pasti akan dijumpai orang-orang dengan kesibukan akan pikirannya masing-masing. Apalagi, saat rapat tidak dipimpin dengan cerdas, yang muncul adalah “rangkaian pemberontakan kecil”. Orang-orang, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, akan mencuri-curi waktu kirim sms, bikin email, update status – dengan alasan yang sangat beragam – sebagian bisa dibenarkan, dan sebagian besar tidak bisa diterima. Secara fisik, di dalam suatu rapat, akan tampak hadir orang-orang. Namun, secara psikologis, emosional, dan kognitif, tidak ada compassion (kepedulian mendalam) karena yang berkembang hanyalah asumsi. Rapat hanya menghasilkan itu-itu saja. Rapat hanya memberi kesempatan pada orang-orang tertentu untuk berbicara. Rapat hanya akan menghabiskan waktu yang panjang, tidak jelas keputusannya. Ada beragam litani lain yang akan sangat panjang. Menjadi justifikasi orang untuk tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.

Look

Melihat. Memahami. Memaknai. Mencatat. Mempertanyakan. Mengajukan pertanyaan. Menuliskan gagasan. Memonitor atas apa yang dipikirkannya sendiri. Mengoreksi apa yang dinilai tidak tepat. Mendengar, dan sekaligus mendengarkan. Di sini lah kita akan menumbuhkan diri sendiri sebagai sosok pembawa perubahan. Apa yang diubah? Siapa yang diubah? Pertama-tama dan yang paling utama, yang harus diubah adalah diri sendiri. Cara berpikir kita sendiri. Keyakinan kita yang bisa jadi memang tidak lagi relevan. Kadang, kita menemukan ada orang yang selalu terjebak dengan masa lalu. Dengan dendam yang menyala-nyala atas pengalaman yang telah lewat. Energinya hanya dipakai untuk memikirkan berbagai hal negatif yang telah menimpa dirinya sendiri. Mengapa demikian? Ini terjadi karena orang ini lupa, bahwa hidupnya sebenarnya sudah sangat terberkati. Orang ini tidak terbiasa membuka diri dengan berbagai hal. Mendengar tapi tidak mendengarkan. Melihat tetapi tidak mengetahui. Kemampuan berpikir kritis dan menganalisis tidak cukup hanya dipakai untuk menilai dan menghakimi orang lain. Pada waktu yang sama, orang ini juga harus berani menempatkan diri sebagai bahan untuk dianalisis, dievaluasi, dan dinilai.

Go

Dalam skema ketiga ini, yang dituntut adalah sebuah keberanian untuk melakukan suatu aksi tertentu. Adalah sebuah kesalahan ketika kesadaran diri sebagai pribadi yang salah, tidak sempurna, dan bisa keliru (fallible) justru membuat kita menjadi begitu terpuruk, merasa tidak berguna, dan justru menyalahkan diri terus-menerus. Saya kadang merasa malu, justru ketika menjumpai orang-orang yang jauh dari sempurna, namun mereka memiliki daya juang yang luar biasa. Sam Berns (sumber: klik di sini) dan Nick Vujicic (sumber: klik di sini) adalah dua contoh yang melatih compassionate hearts ini. Sam Berns merupakan seorang penderita penyakit progeria (fenomena penuaan dini yang tidak bisa dikendalikan). Sekalipun hidupnya berakhir dalam usianya yang ke 17, namun dia berusaha tangguh, tidak cengeng, tidak minta dikasihani, dan tidak menyalahkan orang-orang di luar dirinya, atau bahkan menyalahkan Tuhan! Nick Vujicic, yang tidak memiliki tangan dan kaki, pernah mengalami masa-masa depresi yang luar biasa, dan hampir bunuh diri. Namun, dia akhirnya bisa tumbuh dan berkembang, mengatasi luka-luka batin di dalam dirinya, dan keluar sebagai pemenang.

***

Dengan melakukan tiga rutin sederhana tersebut, David Steindl-Rast, seorang bruder pertapa dari Kongregasi Benedictine, meyakini bahwa kita akan mengikuti siklus kesadaran seperti ini. Compassionate hearts (hati penuh berkepedulian) akan tumbuh dan berkembang pada waktu kita memiliki kapasitas bersyukur: being grateful.

If you're grateful, you're not fearful.

If you're not fearful, you're not violent.

If you're grateful, you act out a sense of enough, so you are willing to share.

If you're grateful, you're enjoying the differences between people and you're respectful to anybody.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun