Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rumitnya Mengusung Perubahan

6 Februari 2010   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada “magic formula” (resep sederhana yang mujarab) untuk mengusung perubahan yang membawa perbedaan secara berkelanjutan. Berapa kali kurikulum nasional telah berganti? Perubahan memang terjadi: nama kurikulumnya, dokumen-dokumen yang dihasilkannya, berbagai pihak ribut melakukan pelatihan, dan sejumlah dana besar dialirkan untuk menggolkan suatu kurikulum. Tapi apakah kualitas pendidikan di dalam kelas mengalami peningkatan secara drastis? Tidak!

John Dewey (1858-1952) telah jauh-jauh hari mengingatkan, reformasi dalam bidang pendidikan – terutama ketika bentuknya adalah “memerintahkan guru untuk menjalankan serangkaian kebijakan” – tidak akan berdampak (Kliebard, 2004). Aktivitas mendidik di kelas ditandai oleh pemahaman, penguasaan, dan keyakinan dasar yang dimiliki guru terhadap isi materi, cara belajar siswa, dan cara penyampaian materi. Apapun yang diperintahkan dari luar akan mengalami berbagai saringan dalam diri guru, sehingga kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di kelas pun bisa sangat bertolak belakang.

Berbeda dengan orang-orang dari wilayah kerja bisnis, pertanian, perdagangan, dan teknologi – yang bisa dengan mudah mengadopsi hal-hal inovasi baru, pelaku pokok pendidikan memerlukan waktu, pelatihan, dan kesempatan yang jauh lebih kompleks untuk berani mengadopsi suatu hal-hal inovatif. Ini memberi gambaran yang jelas, bahwa membawa serta gagasan-gagasan dari luar pendidikan yang berkarakteristik “technical rationality” tersebut ke dalam ranah pendidikan justru sering membawa rasa frustrasi. John Dewey menyebut pola pikir yang kompleks dari para pendidik macam ini sebagai “intellectual instrumentalities”. Hal-hal inovatif yang dikenalkan akan dipakai sebagai alat pembanding, diuji-cobakan, dinilai kesesuaian dengan gaya pribadi sang guru, dan ini butuh waktu dan kesabaran.

Mengingat kompleksitas tautan antar aspek yang dinamis macam ini, tidak salah bila saran pokok mendasar bagi siapa saja yang hendak mengusung perubahan adalah menciptakan strategi kerja “top-down” dan “bottom-up” (Fullan, 1993). Artinya, pihak pemegang kewenangan membangun relasi optimal dengan melibatkan pihak akar rumput untuk ambil bagian dalam berapam aspek organisasional, termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Tidak mudah hal macam ini dilakukan, terutama karena banyak lembaga lebih ditandai dengan polarelasi yang saling mencurigai, kurang punya kepercayaan satu sama lain, adanya kecenderungan untuk mementingkan kelompok kecil mereka, dan tentu saja berakibat pada terabaikannya cita-cita besar dari organisasi secara keseluruhan.

Setelah selama bertahun-tahun memfasilitasi beragam proyek reformasi di Chicago, Bryk dan Schnider (2003) akhirnya menemukan empat kunci penentu dalam membangun lembaga yang siap dan mau tumbuh.

1.Interpersonal respect

Ditandai dengan kemampuan mendengarkan terhadap masing-masing anggota, dan selanjutnya mampu menindaklanjuti apa yang didengarkan itu dengan sepenuh hati. Tampaknya mendengarkan, tetapi tidak ada kelanjutan dari yang didengarkan sama saja bohong.

2.Personal regard

Ini muncul dari kerelaan dari peserta untuk bekerja lebih dari sekedar yang ditulis dalam deskripsi kerja. Dengan kata lain, totalitas untuk berkorban secara lebih bagi sesamanya. Michael Fullan menyebutnya sebagai “volunteering”.

3.Competence in core responsibilities

Kita semua mengharapkan rekan-rekan kerja kita tidak menjadi batu sandungan karena mereka tidak mampu menjalankan fungsi yang semestinya mereka bisa jalankan. Kalau ada orang macam ini dalam lingkup kerja kita, perlu dipikirkan mekanisme untuk pembenahan dan/atau (kalau perlu) penggantian.

4.Personal integrity

Dalam konteks apapun, dituntut “satunya kata dan perbuatan”. Artinya, nilai-nilai etika dan moralitaslah yang mesti menjadi pembimbing pola interaksi dalam organisasi.

Referensi:

Bryk, A.S. & Schneider, B. (2003). Trust in schools: A core resource for school reform, Educational Leadership, 60(6), 40-49.

Fullan, M. (2003). Change forces with a vengeance. New York: Routledge Falmer.

Kliebard, H. (2002). Changing course: American curriculum reform in the 20th century. New York: Teachers College Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun