Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tertipu Seorang Kolonel

1 Maret 2010   20:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_84222" align="alignleft" width="200" caption="source: carnage.bungie.org"][/caption]

STOP. Tidak ada niat secuilpun untuk mendiskreditkan profesi militer. Jangan terprovokasi dulu. Saya menaruh hormat pada semua profesi: polisi, guru, militer, dokter, pangacara, dan birokrat. Tentu sejauh orang-orang yang menjalani tugas panggilan profesi tersebut menjalankannya dengan penuh dedikasi, menjauhkan diri dari upaya sekedar memenuhi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, dan senantiasa mengusung keadilan.

Dua belas tahun telah berlalu dari pengalaman saya ini. Namun, kesan dan pelajaran yang tertinggal begitu kuat, sehingga memunculkan tulisan pendek ini.

Sebagai seorang guru SD, bapak saya orang yang sangat berdisiplin dalam banyak hal, termasuk di dalamnya soal pengelolaan keuangan. Terlepas dari besarnya dana yang dikeluarkan untuk biaya kuliah saya, Bapak tidak pernah membiarkan diri saya terganggu dalam hal studi akibat seretnya biaya kuliah. Namun, saya toh tetap tidak tega untuk memohon uang saku yang cukup. Saya lebih tega memaksakan diri saya untuk berjuang mati-matian dalam belajar untuk mempertahankan beasiswa. Tiga tahun lamanya aku bisa mendapatkannya.

Memasuki tahun 1998, saya sudah tidak lagi berhak mengajukan beasiswa. Tidak ada pilihan lain kecuali mencari tambahan uang saku. Sudah cukup lama saya menjadi penerjemah, baik dari bhs Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya.

Suatu hari, ketika teman-teman mahasiswa di Jogja mulai ramai berdemo, datanglah seorang kenalan yang membawa buku setebal 300-an halaman. Katanya, “Om ku sedang ambil S2, mau bantu nerjemahkan enggak? Soal dananya, gampang! Dia punya duit. Seorang kolonel, masih aktif!”

Saya ambil buku itu, saya membaca judulnya sekilas: tentang hak asasi manusia di Negara-negara miskin Afrika! Saya tertarik, selain karena tampaknya menjanjikan secara ekonomis, tentu saja akan menarik untuk mempelajari hal-hal baru di buku itu. Setelah negosiasi, jadilah kesepakatan. Tiap bab yang berisi 30-an halaman akan saya selesaikan dalam dua minggu. Karena ada 12 bab, berarti ini akan menjadi kontrak yang agak lama.

Satu, dua, dan tiga bab selesai. Sang kolonel mengaku puas. Uang dibayarkan. Sebagian uang saya pakai untuk teman akrab saya asal Bali yang sangat baik dan merelakan komputernya saya pakai untuk mengetik. Karena memang baru apes, begitu saya hidupkan komputernya, terdengar ledakan dari CPU yang merontokkan hati saya! Temanku belum sempat beli stabilizer, dan lonjakan tegangan tinggi tampaknya terjadi tepat waktu aku menekan tombol „on“ pada komputer itu!

Empat, lima dan enam bab pun selesai. Uang saya terima. Sebagian saya bagikan ke teman yang punya komputer. Semacam biaya sewa lah. Saya masih tetap bersemangan menerjemahkan. Satu kata demi satu kata saya pelototi dan saya tuliskan di atas kertas HVS yang saya potong membujur menjadi dua bagian. Terus terang saja, saya banyak belajar dari proses menerjemahkan ini. Barangkali karena kebiasaan menerjemahkan pula saya akhirnya memiliki keterampilan menulis seperti ini. Saya belajar istilah baru, misalnya impunitas – yaitu ketika kejahatan dibiarkan berlalu dan dilupakan tanpa ada upaya untuk memprosesnya. Dengan kata lain, menjadi penerjemah lebih banyak mendapatkan keuntungan dalam hal pengetahuan dibandingkan dengan jumlah finansial yang diterima.

Begitu selesai bab tujuh, kenalan itu datang. „Aku ambil bab terakhir ini ya,“ katanya. Katanya sambil menyerahkan uang 50 ribu. Dia mengatakan bahwa uang itu memang belum cukup dan dia akan melunasinya kalau bab delapan juga sudah selesai. Begitu pesan Om-nya. Berarti bab 9 – 12 tidak perlu diterjemahkan.

Uang sebesar itu uang terakhir yang aku terima. Setelah diprint, terjemahan bab delapan saya titipkan pada teman yang punya komputer. Saya membayangkan akan mendapatkan uang 72 ribu, plus sisa pelunasan sebelumnya 18 ribu. Namun, angka 90 ribu rupiah itu menguap seiring dengan menghilangnya kabar kenalan itu. Uang itu tentunya sangat tinggi untuk saya. Setelah berhari-hari bergulat di atas meja, menuliskan kata demi kata, dan kemudian mengetiknya di depan komputer, yang tersisa hanyalah kehampaan. Sebagai berpandingan, beasiswa Toyota Astra yang saya terima sebelumnya sebesar 75 ribu perbulan.

Jadilah saya gigit jari. Dan teman yang telah merelakan komputernya saya pakai pun juga tidak dapat jatah sama sekali. Sampai hari ini, saya tidak tahu: apakah kolonel itu yang sengaja tidak membayar saya, atau ponakannya yang memang nakal dan menyelewengkan uangnya untuk kepentingannya sendiri. 12 tahun berlalu, saya masih bertanya dan biarlah itu jadi catatan yang menghiasi perjuangan hidup ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun