Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terus-terang, Saya Pengagum Berat SJ

13 April 2010   23:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 2732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sjahril Johan atau yang kemudian disingkat jadi SJ ... siapa tidak kenal tokoh ini? Dalam diskusi kasus pelecehan hukum dan upaya kong-kalingkong ekonomi demi menangguk untung yang terjadi di bumi Nusantara ini hari-hari terakhir ini, sebutan khas SJ tentu sangat akrab di telinga. Namun, sadarkah kita bahwa penggunaan istilah "SJ" oleh media bisa dianggap tendensius? Penggunaan sebutan "SJ" lagi-lagi bisa dengan mudah diasosiasikan  dengan upaya-upaya tersembunyi oleh kelompok tertentu untuk mendiskreditkan salah satu ordo dalam hierarki Gereja Katholik. Jadi, sekali lagi, ini menambah deretan panjang nama-nama Katholik lain yang lebih dulu populer karena makna negatifnya. Namun, seperti apa yang saya tuliskan sebelumnya, saya tidak merasa risi atau tidak nyaman dengan realitas macam ini. Saya lebih mengajak kita semua untuk melihat esensi dari persoalan. Kali ini, saya mau berbagi sedikit pengertian terkait dengan "SJ" yang asli, yang umurnya sudah hampir lima abad.
***
Dalam konteks Gereja Katholik, SJ merupakan singkatan dari Serikat Jesus atau dalam bahasa Latinnya Societas Iesu (SI) - suatu Ordo di bawah hierarki Gereja Katholik yang didirikan oleh mantan tentara Spanyol bernama asli Inigo de Loyola, hampir 500 tahun lalu. Inigo ini adalah mantan tentara Spanyol, yang sangat berambisi dalam karir militernya. Dalam perang di Benteng Pamplona, dia mengalami patah kaki, yang sekaligus menghancurkan harga diri dan cita-cita besarnya. Dia berhasil sembuh dari patah kaki itu, namun akibatnya dia tidak lagi sebagai sosok yang gagah. Kedua kakinya menjadi tidak sama ukurannya. Singkat cerita, semangat, ambisi dan cita-cita besarnya mendorongnya untuk mengambil tindakan ekstrim! Dia meminta dioperasi lagi untuk menyamakan ukuran kakinya. Itu terjadi pada abad 15, ketika belum dikenal anestesi. Bisa dibayangkan kegilaan macam apa yang ada di kepala tentara bernama Inigo macam ini!

Proses penyembuhan yang panjang telah membuatnya terpaksa menghabiskan waktu di tempat tidur. Mau tidak mau, dalam kondisi tak berdaya ini lah, dia terpaksa membaca-baca buku. Pelan-pelan, sepotong demi sepotong kesadaran mulai memasuki relung hati dan nuraninya. Dalam permenungannya, dia menemukan bahwa dirinya adalah sosok yang telah salah jalan. Selama itu dia sekedar mengedepankan cita-cita duniawi! Pertobatan datang tidak begitu saja, namun muncul dari proses pengolahan berbagai pengalaman dalam kehidupannya. Pertobatan ini akhirnya semakin menguatkan cita-citanya untuk tetap menjadi seorang tentara sejati bagi Gereja, sesama dan Tuhan, bukan demi kemuliaan pribadi, dan dipuja-puji serta  dilayani para wanita cantik-elok-nan rupawan. Tentara sejati yang dia impikan adalah demi Gereja Katholik - yang harus diakui sedang porak-poranda karena begitu banyak orang-orang di dalam Gereja sendiri yang kacau balau. Gereja sebagai institusi dan hierarki butuh pejuang murni, yang berani turun ke jalan-jalan, menolong mereka yang sangat menderita, kelaparan, dan sakit. Itulah konsep iman pada Yesus yang dia terjemahkan dan yakini.

Inigo melihat bahwa memperbaiki Gereja bukan dengan melawannya, atau menyerukan hal-hal buruk yang terjadi secara sistematis dalam sebuah struktur bernama hierarki ini. Dia memilih untuk masuk, bergabung ke dalam, dan memperbaikinya dari dalam. (Bandingkan dengan sikap Martin Luther yang memilih keluar dari hierarki Gereja tahun 1517 dan mendirikan Kristen Protestant). Akhirnya, setelah mengalami proses jatuh bangun, perjuangan, dan penderitaan baik fisik, emosi, dan spiritual, Inigo yang mengubah namanya menjadi Ignatius berhasil mendirikan sebuah ordo yang dinamai Serikat Jesus. Mereka saja yang sepakat untuk mengabdikan dirinya untuk melayani sesama harus menjalani kehidupan yang keras.

Memasuki 20 abad keberadaan ajaran Kristiani di muka bumi, keberadaan Serikat Jesus telah berusia hampir 500 tahun. Ordo ini tetap menunjukkan komitmen pelayanannya, dalam berbagai bidang, namun pokok pelayanannya adalah bidang pendidikan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat sendiri terdapat 28 Universitas yang dikelola oleh ordo ini. Usia lima abad untuk sebuah organisasi swasta tentu bukan usia yang pendek. Rejim kepemimpinan politis manapun jarang berusia panjang sampai lintas beberapa abad. Apa yang menjadi ciri khas dari SJ ini? Chris Lowney, dalam bukunya Heroic Leadership (versi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia) menyebut model kepemimpinan heroik sebagai ciri khas ordo ini. Salah satu film yang menceritakan kehidupan tragis Suku Guarani, the Mission, menjadi salah satu icon yang mencerminkan hakekat perjuangan Ordo yang didasarkan pada asas-asas ketaatan ini.

Bagi publik Indonesia, yang barangkali akan mudah dikenal adalah tokoh bernama Rm. Magnis Suseno, sang filsof WNI yang berasal dari Jerman itu. Tokoh berambut putih yang sering didaulat dalam berbagai acara di TV dikenal tajam namun sekaligus humanis. Bagi para penggemar karya sastra, Rm. Sindhunata, penulis masterpiece Anak Bajang Menggiring Angin, tentu tidak ketinggalan. Dan tentu saja bersama lebih dari 19.000 anggota ordo di seluruh muka bumi hari ini, ada ratusan imam Jesuit Indonesia yang tidak "memunculkan" diri melalui aktivitas tanpa publikasi. Mereka itu dengan caranya sendiri membantu mengusung misi kemanusiaan tanpa membawa label agama sama sekali. Karena alasan itu pula, aku mengabdikan hidupku di sebuah lembaga pendidikan guru yang didirikan oleh Ordo SJ ini. Universitas Sanata Dharma adalah satu-satunya Universitas Katholik  di Indonesia yang didirikan dengan semangat Ignasian ini. Hanya sekedar pengalaman kecil saja, ada begitu banyak mahasiswa berjilbab yang saya ajar (dalam program Extension Course). Rata-rata, mereka adalah mahasiswa dari kampus-kampus sekitar: UGM, UII, dan lain-lainnya. Bukan untuk bergaya-gaya lho kalau aku menyebut ini: aku juga pernah mengajar ketiga putra tokoh Amien Rais yang belajar Bahasa Inggris di Program DII English Extension Course, Sanata Dharma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun