Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Brooklyn Bridge yang Dibangun Hanya dengan Satu Jari!

12 Mei 2010   03:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_139097" align="aligncenter" width="500" caption="source: http://www.airninja.com/pictures"][/caption] Pada tahun 1883, seorang insinyur kreatif bernama John Roebling mendapatkan inspirasi segar:membangun sebuah jembatan spektakuler yang menghubungkan antara New York dan Long Island. Namun, para ahli pembuat jembatan di manapun tidak percaya dengan gagasan itu. Mereka Mencibir John, dan memintanya untuk melupakan impiannya itu. Mustahil melakukan pekerjaan macam itu. Tidak ada yang pernah melakukan sebelumnya. Namun, Roebling tidak bisa mengesampingkan visi yang dia yakini tersebut. Dia selalu memikirkannya, dan dia yakin dari dasar hatinya, bahwa hal itu dapat dicapai. Dia harus menemukan seseorang untuk berbagi gagasan. Setelah menghabiskan banyak waktu untuk diskusi dengan anaknya sendiri yang bernama Washington, Joe yakin, anaknya ini lah yang sedang tumbuh menjadi insinyur ini lah yang akan menjadi rekan kerjanya. Akhirnya kedua orang itu pun sepakat untuk melakukan proyek "gila" tersebut. Mereka mengembangkan konsepnya, dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang akan muncul dapat ditangani. Dengan semangat membara dan inspirasi tinggi, dan juga beragam tantangan di depan, mereka mulai merekrut orang-orang yang akan mengerjakan proyek mereka. Tampaknya, proyek itu akan lancar-lancar saja. Namun, baru berjalan beberapa bulan, sebuah kecelakaan tragis di tempat pembangunan jembatan telah mengambil nyawa John Roebling. Sang anak sendiri mengalami cedera parah: terjadi kerusakan tak tersembuhkan pada bagian tertentu di otaknya. Akibatnya dia tidak lagi mampu berjalan, dan bahkan untuk berbicara saja dia tidak mampu. "Sudah dibilang tinggalkan mimpi itu," kata orang-orang. "Dasar pasangan bapak-anak yang gila dengan mimpi-mimpi gila!" orang lai menimpali. "Suatu kebodohan untuk mengejar visi liar!" sekelompok orang lain berujar. Semua orang mempunyai kata-kata tersendiri - yang kesemuanya negatif - untuk menggambarkan proyek itu. Mereka semua berpendapat bahwa proyek gila itu harus dihentikan karena hanya pasangan bapak-anak Roebling itu saja yang tahu bagaimana jembatan itu akan bisa dibuat. Namun, terlepas dari cedera parah yang menimpanya, Washington sendiri tidaklah pernah merasa ragu dan mundur dari apa yang dia impikan. Di dalam hatinya masih berkobar kehendak untuk menyelesaikan proyek ambisius itu. Sekalipun tidak lagi bisa berbicara, tetapi pikirannya masih setajam dan sejernih semula. Dia berusaha keras untuk membakar teman-temannya, dan menularkan antusiasmenya tersebut kepada teman-temannya, namun mereka semua ragu-ragu akan besarnya resiko dari proyek besar itu. Sewaktu dia berbaring tanpa daya di rumah sakit, secercah sinar matahari menyusup melewati jendela. Angin semilir mengembangkan tirai kain yang menutupi jendela, dan pada waktu itu, dia bisa melihat langit biru yang cerah dan pucuk-pucuk pepohonan di luar sana. Sekilas dia merasakan pesan yang kuat dari pemandangan di luar yang cerah ceria itu. "Jangan menyerah!" gumannya dalam hati.  Tiba-tiba sebuah ide muncul, menampar kesadarannya. Satu-satunya yang dia lakukan adalah menggerakkan satu jarinya. Dan dia berkeras hati untuk menggunakan satu-satunya jari yang bisa dia gerakkan itu untuk mencapai impiannya. Dengan gerakan tangannya, dia pelan-pelan mengembangkan kode untuk komunikasi dengan istrinya. Dia me menyentuh lengan istrinya, untuk mengundang kembali para insinyur yang dia rekrut sebelumnya. Dan dia mengunakan cara yang sama - menyentuh lengan istrinya tersebut - untuk memberitahukan langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan oleh para insinyurnya. Terdengar bodoh bukan? Namun proyek yang sempat macet itu jalan lagi. Selama 13 tahun Washington mengkomunikasikan gagasannya dengan menyentuh lengan istrinya, sampai jembatan tersebut benar-benar terselesaikan. Hari ini, Brooklyn Bridge berdiri dengan megah, sebagai penghormatan atas kemenangan seorang manusia yang tidak mau dikalahkan oleh keadaan yang tidak ramah sekalipun. Ini juga sebagai bentuk pengorbanan bagi para insinyur dan kerja tim mereka. Tidak ketinggalan, ini bentuk penghormatan juga bagi sang istri yang selama 13 tahun, dengan penuh kesetiaan, menemani sang suami dan menjadi penerjemah dari gagasan-gagasan serta perintah sang suami dalam upaya untuk menyelesaikan tugas besar macam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun