Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo vs Jokowi: Mana yang Lebih Rasional?

12 Juni 2014   13:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:06 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahfud MD memberi skor 1-0 untuk kemenangan Prabowo dalam debat kemarin. Dengan skala berbeda, wakil timsesnya, Romahurmuziy memberi angka 4-2. Tentu untuk kemenangan Prabowo. Priyo Budi Santoso memberi alasan mengapa Prabowodan Hatta lebih kuat dalam hal retorika. Kedua orang berbicara pada tataran kenegaraan. Logika makro. Bukan logika mikro seukuran walikota atau gubernur. Fadli Zon tidak kalah berapi-apinya membela. Dengan begitu percaya diri dia menyatakan pertanyaan Jusuf Kalla tentang masa lalu Prabowo terkait HAM sebagai pertanyaan politisi “kelas rendahan.” Intinya, kubu Prabowo menyebut Prabowo-Hatta jauh lebih rasional. Lebih bisa diterima. Lebih logis. Lebih layak untuk dipilih menjadi presiden.

Sebaliknya, kubu Jokowi pun tidak kalah kuatnya dalam mempertahankan diri. Cara Jokowi memotret realitas yang dinilai berorientasi “low-context” (lebih mendarat, lebih sesuai lapangan) dinilai kekuatan, bukan kelemahan. Sejauh ini, sekalipun Jokowi dianggap tidak “eloquent” (lancar, lentur, lincah) dalam tataran konseptual, kubu Jokowi tetap tenang. Tidak sedikit artis yang mulai buka suara. Slank yang semula masih malu-malu dalam bersikap, akhirnya menjadi lebih tegas dalam bersikap. Nidji Giring dilaporkan telah jatuh hati karena kesederhanaan. Musisi senior Erwin Gutawa juga telah tertambat hatinya.Minimal dua jendral yang menandatangani rekomendasi penyelidikan khusus atas peran Prabowo dalam hilangnya 13 aktivis sudah mengambil sikap tegas. Agum Gumelar, jendral purnawirawan yang cukup dikenal luas, tidak segan-segan menyampaikan sikap dukungan untuk capres sipil.

Yang menjadi pertanyaan menarik tentu saja: mengapa pasangan capres sipil JKW-JK terasa lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan, bahkan oleh sejumlah militer sekalipun? Jawabnya sederhana. Ini karena JKW-JK memiliki logika yang lebih rasional dibandingkan pasangan Prabowo-Hatta.

Weberian rationality

Sosiolog abad 20, Max Weber memberikan cara sederhana untuk mengukur rasionalitas. Suatu aktivitas dikatakan rasional sejauh “cara, strategi, dan langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan semakin konsisten dengan target atau tujuan yang hendak dicapai.” Sederhananya demikian. Seorang mahasiswa memiliki cita-cita lulus dengan pujian (cum laude, atau IPK minimal 3.5 dari skala 4.0). Dia dikatakan berpikir dan bertindak rasional bila dia melakukan minimal dua hal pokok.

Pertama dia mengidentifikasi unsur-unsur yang membentuk tercapainya IPK minimal 3.5. Identifikasi macam ini melibatkan kegiatan analisis logis, sistematis, dan metodologis. Seorang mahasiswa yang jujur dan berpikir secara disiplin, dipastikan akan sampai analisis seperti ini. Mahasiswa yang baik, ber-IPK tinggi, dan berintegritas memiliki minimal empat komponen berikut:


  1. komitmen belajar secara berkelanjutan, bukan memakai sistem kebut semalam belaka,
  2. berdisiplin baik dalam perkara kecil maupun besar,
  3. menjaga relasi yang sehat dengan siapapun tanpa pandang bulu, dan
  4. tahu bahwa dirinya memiliki keterbatasan, sehingga memiliki cukup kecerdasan dan keterampilan untuk mencari cara untuk mengatasinya.

Kedua, langkah menjaga rasionalitas adalah dengan “mendekatkan cara-cara mencapai tujuan dengan tujuan besar akan dicapainya.” Bagaimana implementasinya? Bila mahasiswa ini benar-benar rasional, dia akan berlatih untuk mengikuti definisi “kualitas baik” yang hendak dia capai. Untuk mencapai IPK tinggi, dia akan berusaha keras untuk belajar secara reguler. Belajar tidak hanya dilakukan pada akhir semester saja. Selanjutnya, seperti yang diajarkan Konosuke Matsushita, mahasiswa ini berlatih untuk berpikir besar (big picture sebagai dynamic complexity), namun juga disiplin dalam melatih hal-hal teknis yang renik-renik (detailed complexity). Berikutnya, membangun relational trust juga diangkat sebagai prioritas. Mahasiswa ini tidak hanya belajar secara akademik melulu, tetapi juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Yang terakhir, tahu batasan yang dimilikinya. Mahasiswa yang rasional paham bahwa dirinya tidak sempurna. Oleh karena itu, dia belajar untuk mendengarkan orang lain, dan lebih dari itu, mengembangkan compensatory strategies untuk membuat dirinya mengatasi kelemahan dirinya sendiri.

JKW-JK lah yang lebih rasional

Kembali ke diskusi pembuka, mana yang lebih rasional di antara kedua pasangan capres-cawapres? Posisi saya jelas: JKW-JK tentu saja mendapatkan skor tinggi untuk urusan rasionalitas ini. Mengapa? Pidato tanpa teks yang mengandalkan penguasaan keterampilan retorika dan pengetahuan luas belaka hanya akan berakhir pada kualitas obrolan tanpa rasionalitas. Benar bahwa gaya berapi-api Prabowo barangkali berhasil memukau orang-orang yang tidak memahami latar belakang sang jendral ini. Namun, akan dengan mudah menemukan lapses atau hilangnya logika dalam argumentasinya. Contohnya sederhana. Untuk menangani korupsi, Prabowo memandang mendesaknya kenaikan gaji bagi para pejabat. Ini cara berpikir yang naif, sempit, tidak komprehensif, dan terlalu menyederhanakan persoalan. Di balik jawaban ini, asumsi yang ada di kepala sang pembicara adalah: orang korupsi karena kurang kaya. Ini adalah pandangan materialistik yang justru akan menghancurkan. Saya tidak berani mempercayakan negeri ini dipimpin oleh seseorang dengan kecenderungan berpikir seperti ini.

Ada banyak contoh terkait dengan cara berpikir irrasional dari pasangan Prabowo-Hatta. Sudah banyak ulasan tentang hal ini, dan saya merasa tidak perlu mengangkatnya lebih jauh. Alasan saya menggunakan cara analisis sederhana dari rasionalitas Weber adalah untuk membantu masyarakat Indonesia agar menjadi lebih sadar akan pilihan-pilihan yang mesti kita buat. Ini adalah kontribusi yang bisa saya berikan ke bumi pertiwi ini. Lebih karena saya peduli, bukan karena kepentingan diri semata. Saya meyakini, orang-orang Indonesia semakin cerdas dalam menjatuhkan pilihannya.

Salam demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun