Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mohon maaf bagi para pendukung Prabowo: IQ 152 (bisa jadi) tidak ada gunanya, tanpa ...

16 Juni 2014   00:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa IQ Capres Prabowo mencapai 152. Bandingkan dengan IQ Albert Einstein yang juga sekitar angka itu (kalau tidak salah 155). Einstein sendiri dikenal dengan teori relativitasnya. Tidak ada yang mempersoalkan kontribusi seorang Einstein. Diyakini, tingginya IQ dinilai berkorelasi positif dengan kemampuan pemecahan soal dan pengelolaan kehidupan sendiri dan orang lain. Benarkah?

IQ atau Intelligent Quotient

IQ merupakan produk ilmu positivistik dari tradisi psikologi. Diyakini bahwa inteligensi atau kecerdasan orang bisa diukur secara deskriptif dan normatif. Ujian tertulis yang dipakai untuk mengukur kecerdasan berupa serangkaian tes verbal dan matematik. Jamak diterima umum bahwa rata-rata manusia yang bisa menyelesaikan kuliah S1 memiliki kisaran IQ 110-125. Jamak juga diakui bahwa semakin tinggi IQ seseorang, semakin mampu dia menyelesaikan berbagai persoalan.

Malcolm Gladwell, seorang penulis dari Kanada, mengajukan keberatan tentang asumsi “semakin tinggi IQ, semakin baik seseorang dalam menjalani kehidupannya.” Dalam buku best-selling berjudul Outliers, Gladwell justru memporak-porandakan anggapan itu. Buktinya nyata. Seorang anak bernama Christopher Langan memiliki IQ setinggi 195. Coba, dia memiliki IQ jauh lebih tinggi daripada Einstein. Namun, apa yang terjadi? Chris Langan tidak pernah menyelesaikan S1-nya. Tulisan-tulisan ilmiah dan filosofis yang dihasilkannya sama sekali tidak dilirik oleh para ahli di bidang matematika dan filsafat. Lebih ironis lagi, sebagai salah seorang tercerdas di muka bumi, besarnya talenta di dalam dirinya hanya tersia-siakan dengan pekerjaan yang tidak mengundang decak kagum: dia hanya menjadi seorang petani kuda (di daerah Montana, kalau tidak salah)!

Mengapa kecerdasan yang luar biasa tinggi tidak bisa mengantarkannya menjadi salah seorang yang paling berpengaruh di muka bumi? Mengapa Chris Langan akhirnya hanya akan dikenang sebagai seorang cerdas yang memiliki ranch kecil?

Concerted cultivation

Annete Laureau, seorang sosiolog, mengajukan pertanyaan lanjutan. Dalam investigasinya terhadap kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah, Annete Laureau akhirnya menemukan jawaban yang mengejutkan. Pertama, IQ tinggi tidak dengan sendirinya menjadi komponen utama bagi keberhasilan dalam hidup seseorang. Standar IQ 120 sudah cukup untuk mengantar seseorang menyelesaikan S1, atau S2, dan bahkan S3. Batas bawah 120 itu menjadi indikator awal. Selebihnya, kelebihan 10 sampai 40 dalam hal IQ ternyata tidak berpengaruh.

Kedua, komponen penting bagi seseorang justru terletak pada “social savvy”, yaitu pada keterampilan dalam membawa diri, mengelola emosi dalam relasi, dan nyaman bahkan dalam ketidakpastian relasi dengan sesama. Orang-orang yang dari keluarga mampu yang dianalisis oleh Annete Laureau, dkk., memiliki kemiripan dalam melatih anak-anak mereka dalam berkomunikasi. Misalnya, saat anak-anak mereka hendak mengunjungi dokter, orang-orang tua dari keluarga mampu akan melatih anak-anak mereka agar bisa lebih percaya diri. Ungkapan yang merujuk pada pelatihan sikap rasa percaya diri tampak dalam ungkapan motivasional seperti ini.

“Nanti, kamu akan berbicara seperti apa dengan dokter?”

“Katakan dengan jelas, apa yang kamu rasakan. Dokter pasti akan senang kalau mendengar langsung dari kamu.”

Berbeda dengan keluarga yang kurang beruntung, orang-orang tua akan membuat rangkaian aturan yang cenderung menakut-nakuti anak mereka. Ungkapan-ungkapan macam ini yang sering terdengar.

“Awas kalau nanti kamu melakukan hal-hal aneh. Aku jewer kamu.”

“Ingat saat terakhir ketemu dokter? Apa yang kamu lakukan? Kamu malah menangis meraung-raung. Sungguh memalukan!”

Singkat kata, apa yang terjadi di keluarga-keluarga lebih mampu adalah “concerted cultivation.” Ini merujuk pada latihan yang diciptakan oleh keluarga bagi anak-anak mereka agar memiliki harga diri saat berhadapan dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang.

Nurture vs. Nature

Diskusi tentang peran penting dari kecerdasan (nature) dan latihan atau sosialisasi di dalam keluarga (nurture) memang tidak pernah konklusif. Namun, saya akui bahwa dua hal tersebut tidak pernah bisa ditangkap sebagai hal dikotomistik-hitam/putih. Artinya, kedua hal itu saling berinteraksi satu sama lain.

Chris Langan dengan kecerdasan paling tinggi (yang pernah dicatat dalam sejarah Amerika) kehilangan dukungan sosial macam ini. Dia tercatat pernah memiliki empat ayah yang berbeda. Kehidupannya di masa kecilnya selalu terlunta-lunta karena kemiskinannya. Dengan ibu kandung yang lebih banyak bermasalah dengan dirinya sendiri, Chris Langan dan adik-adiknya tidak pernah diajari untuk menjaga relasi atau perasaan orang lain. Kecerdasannya sangat luar biasa. Saat orang membutuhkan satu semester untuk menguasai suatu mata kuliah, dia hanya butuh 2 jam untuk membaca seluruh isi buku teks. Hasil yang dicapai pun nilai A! Di mata para dosennya, Chris Langan justru menjadi sosok yang membosankan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sering di luar konteks perkuliahan. Dia tidak bisa menggunakan kecerdasannya untuk membuat orang salut dan memberi hormat.

Dua capres kita akan berdebat dalam hitungan waktu yang sangat pendek lagi. Adakah kita menemukan dua orang dengan kecerdasan inteligensi yang tinggi? Seberapa mampu kedua capres kita membuat keterkaitan dengan kehidupan rakyat kebanyakan? Mana yang jauh lebih cerdas, yaitu mengkombinasikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, di antara keduanya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun