Mohon tunggu...
Ruang Filsafat (Pencerahan)
Ruang Filsafat (Pencerahan) Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Misi Pencerahan/Pengamat Realitas Kehidupan

Membaca dan tajamkan akal sehat dalam realitas kehidupan/ Menulis/ Tujuan dari semua tulisan ini untuk memberikan ilmu dan membawa pencerahan bagi semua manusia sebagai makhluk berpikir dalam dinamika kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menelisik Kebodohan di Balik Topeng Pendidikan

22 Mei 2024   17:23 Diperbarui: 22 Mei 2024   17:54 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Sirilus Aristo Mbombo

Saya terinsiprasi untuk menulis sebuah tulisan kecil yang diawali dengan pertanyaan, mengapa bangsa Indonesia masih terperangkap dalam jaring kebodohan? Saya berpikir hanya melalui pertanyaan ini manusia mampu bertanya pada dirinya sendiri tentang kebodohan yang masih mendiami di balik benak pikirannya. Melalui pertanyaan ini manusia harus mampu merefleksikan keberadaan dirinya sebagai manusia, mengapa sampai saat ini diri saya masih terperangkap dalam jaring kebodohan yang tak kunjung usai? Sampai kapan diri saya terperangkap dalam jaring kebodohan ini? Apakah saya membiarkan diri saya terus dikuasai oleh kebodohan?

Bagi saya orang yang dianggap bodoh adalah mereka yang tidak mampu memahami realitas di sekitarnya. Dan akibatnya tentu mereka sering melewatkan peluang-peluang yang ada di depan mata mereka, bahkan bisa merusak situasi dan kesempatan yang seharusnya bisa mereka manfaatkan dalam kehidupan mereka. Sangat disayangkan, hal ini juga menjadi cerminan kondisi bangsa kita hari ini. Kita menjadi bodoh karena dibodohi oleh sistem negara kita sendiri. Pemerintah terus menerapkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang justru merusak pemahaman kita. Para pejabat pendidikan yang tidak memiliki kompetensi diri yang baik terus dipilih tanpa arah dan tujuan yang jelas. Padahal untuk membentuk kemajuan negara ini, kita membutuhkan warga negara yang mampu berpikir rasional, logis, kritis dan memiliki nurani yang baik.

Namun kita menyadari bahwa Pendidikan di Indonesia masih memiliki kualitas yang rendah. Sistem pengajaran di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia masih mengadopsi pola tradisional yang otoriter, di mana ketaatan tanpa ragu dari para siswa dianggap sebagai hal yang benar-benar mutlak. 

Perbedaan pendapat sering kali dianggap sebagai tanda kurangnya ketaatan. Pertanyaan yang bersifat kritis sering dianggap sebagai tindakan yang sombong. Bahkan kreativitas sering kali dipandang sebagai sikap yang tidak disiplin. Akibatnya proses belajar mengajar sering menjadi tidak menyenangkan dan terasa seperti siksaan bagi para siswa. Sebagai bentuk pelarian dari situasi ini beberapa siswa mungkin terjerumus dalam perilaku kenakalan remaja, sementara siswa yang lain mungkin mencari identitas dalam berbagai organisasi radikal. Dan penyebab lainnya pula kebanyakan siswa dalam dunia pendidikan di Indonesia malas membaca buku, buku diibaratkan bagaikan kuburan yang ilmunya telah lama mati dikubur dan tidak dibaca oleh siswa. Siswa tidak mempunyai kesadaran dalam menemukan ilmu dan gagasan yang bermanfaat bagi Pendidikan dan masa depannya, hal ini tentu menjadi persoalan besar bagi Pendidikan di Indonsia.

Dunia pendidikan di Indonesia juga terkena dampak dari banjir informasi. Siswa sering kali diberi tugas untuk sekadar menghafal informasi tanpa benar-benar memahaminya dan hanya untuk kemudian mengulangkannya secara mekanis dalam ujian. Namun informasi bukanlah sama dengan pengetahuan dan tidak pula sama dengan kebijaksanaan. Banjir informasi justru dapat membuat individu merasa kebingungan dan kelelahan yang akhirnya membuat mereka menjadi apatis di dalam kehidupanya.

Belajar dengan hafalan buta masih menjadi metode yang digunakan. Ketaatan buta juga sering kali dijunjung tinggi. Sistem pendidikan yang ada baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat justru menghancurkan kemampuan kita untuk berpikir rasional, logis, kritis, kreatif dan memiliki nurani yang jernih. Hafalan dan ketaatan buta sebenarnya adalah sisa-sisa kurikulum pendidikan zaman penjajahan. Belanda dulu menerapkan metode ini kepada warga Indonesia saat itu. Tetapi setelah merdeka esensi dari pendidikan kolonial tersebut belum diubah bahkan dilestarikan sehingga kita tetap berada dalam kondisi yang bodoh dan tertinggal.

Pendidikan semacam ini juga menciptakan budaya kemunafikan. Pendidik kurang mampu dalam mendidik dan membentuk karakter kecerdasan anak bangsa secara ideal. Pendidik berkoar-koar agar memenuhi syarat gajinya setiap bulan tetapi kualitasnya masih sering dipertanyakan. Pendidikan di Indonesia akan sangat bermutu jika para pendidik memunyai kualitas yang baik dalam membentuk anak bangsa. Anak-anak diajarkan untuk jujur, tetapi pemimpin masyarakat sering kali terlibat dalam tindakan pencurian dan kebohongan kepada rakyat. Anak-anak diajarkan untuk menahan hawa nafsu, tetapi para pemimpin agama malah melakukan hal yang tercela seperti melakukan kekerasan kepada anak-anak. Pendidikan penjajahan juga membuat kita tidak sensitif terhadap hak asasi manusia. Manusia dianggap atau ibaratnya sebagai alat yang bisa dimanfaatkan demi keuntungan ekonomi atau politik semata-mata. Kelompok minoritas terus menderita ketidakadilan. Sebuah bangsa yang terpecah dan bodoh akan selalu tertinggal dalam kemajuan peradaban dunia.

Kita tetap bodoh karena kita terus-menerus dibodohi. Kita belum merdeka sepenuhnya. Sebagai bangsa, kemampuan kita untuk berpikir secara jernih, logis, kritis dan memiliki nurani yang bersih masih sangat rendah. Pertanyaan pun muncul, sampai kapan kita akan terus dalam kondisi seperti ini? Saatnya manusia membutuhkan perubahan yang sesungguhnya untuk menemukan makna manusia sejati yang memiliki kedamaian dan kesejahteraan di dalam kehidupannya.

Gambaran Pena Pencerahan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun