Oleh Sirilus Aristo Mbombo
Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Dimensi kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan dan kesulitan yang datang silih berganti dalam kehidupannya. Manusia hidup dihiasi dengan persoalan yang tak kunjung usai. Manusia hidup dalam keadaan ketakutan dan penderitaan yang terus menghantuinya. Perasaan cemas, perasaan marah, perasaan sedih dan ketidakbahagiaan selalu tampak dalam keseharian hidupnya. Manusia hidup seakan-akan tidak mempunyai harapan secara pasti.
Manusia hidup dalam penderitaan dan kesulitan. Lantas dibalik semua penderitaan dan kesulitan ini, ada suatu pertanyaan yang melekat di dalam pikiran manusia. Bagaimana saya harus menyelesaikan persoalan ini? Apa yang harus saya lakukan dengan semua penderitaan ini? Apakah saya berpasrah diri dengan semua penderitaan? Ataukah saya harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan persoalan dalam hidup saya? Semua pertanyaan-pertanyaan ini selalu singgah di balik pikiran manusia. Manusia terus bertanya dengan keberadaan dirinya. Tetapi ada suatu hal yang pasti di balik semua pertanyaan ini bahwa penderitaan dan kesulitan yang membuat manusia berpikir bahwa hidupnya tidak mempunyai makna yang berarti.
Manusia terus berpikir, bertanya dan membentuk suatu konsep di balik benak pikirannya bahwa hidup ini absurd. Hidup ini adalah kesia-siaan belaka dan tanpa meninggalkan makna yang berarti. Konsep penderitaan, kesulitan dan kekecewaan selalu membekas di balik pikiran manusia tanpa batas yang pasti. Sampai kapan manusia terus menerus berpikir tentang penderitaan dan kekecewaan? Itu menjadi bagian dari pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh manusia. Lantas mengapa manusia menderita di dalam kehidupannya?
Bagi kehidupan manusia pada umumnya mereka menganggap bahwa kesenangan dan sukacita hanyalah bagian terkecil yang menyelinap di dalam kehidupannya. Sebagian manusia telah membentuk pola pikir bahwa tawa dan canda adalah suatu hal yang sangat bernilai dan mahal harganya sehingga tidak dapat dibeli oleh semua manusia secara pasti. Manusia terus menerus bertanya, apakah hidup ini tidak bermakna? Apakah saya harus berhenti menjalani hidup? Apakah hidup ini sungguh absurd? Jika dimensi kehidupan manusia penuh keabsurdan dan tidak bermakna dengan penderitaan dan persoalan, mengapa manusia tidak bunuh diri saja untuk mengakhiri problem hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah melekat dalam keadaan konkret sejarah manusia.
Dalam situasi dan kondisi manusia yang penuh dengan penderitaan dan kekecewaan Albert Camus hadir dan mampu menarik perhatian manusia dengan gagasannya tentang keabsurdan hidup manusia. Albert Camus adalah seorang sastrawan dan filsuf Prancis pada pertengahan abad ke 20 yang sangat populer kala itu. Pandangan Albert Camus tentang dimensi kehidupan manusia mengatakan secara pasti bahwa hidup ini absurd dan sungguh tidak bermakna bagi manusia.Â
Dan dalam waktu yang bersamaan sekitar abad ke-19 dan ke-20, dunia filsafat menyaksikan banyak pemikir modern yang menolak mencari tujuan eksistensi dalam konsep Tuhan dan mulai mencarinya dalam diri manusia. Beberapa pemikir bahkan mengemukakan pandangan bahwa mencari tujuan dalam Tuhan dianggap tidak rasional. Kehadiran penderitaan di dunia dianggap sebagai bukti ketiadaan Tuhan, dan bahkan jika Tuhan ada, dipertanyakan kesempurnaan-Nya seperti yang sering dipercayai manusia.Â
Dengan demikian, keberadaan Tuhan sering dianggap semakin tidak masuk akal oleh beberapa pemikir. Jadi absurditas adalah suatu ketidakmampuan dalam diri manusia untuk dapat memberikan suatu makna dan tujuan hidupnya secara pasti bahwa manusia tidak mampu menemukan jawaban pada Allah karena keberadaan Allah tidak ada secara konkret dan tidak menjamin kebahagiaan manusia.
Albert Camus mengatakan bahwa hidup manusia penuh dengan kemalasan dan ingin mencari semua jawaban pada Allah dan tidak mampu menemukan dunianya sendiri secara konkret. Dan Albert Camus mengatakan bahwa manusia harus menyatakan kematian Allah dan mengakui keberadaan dunianya secara pasti dalam menyelesaikan penderitaan hidupnya. Bagi Albert Camus keyakinan dan kepercayaan manusia pada Allah adalah semacam suatu pelarian yang paling mudah untuk memberikan jawaban terhadap semua persoalan hidupnya tetapi sangat tidak tepat dalam menyelesaikan masalah hidupnya dan sama sekali tidak efektif dalam menemukan jalan keluar bagi persoalan dan penderitaan hidupnya.
Dunia ini absurd karena persoalan dan penderitaan yang datang silih berganti tanpa henti dalam kehidupan manusia. Hidup manusia semacam permainan yang harus dimainkan oleh manusia dengan berbagai taktik sampai keadaan terakhir yaitu kematian dirinya. Kematian merupakan bagian dari suatu tanda keabsurdan hidup manusia. Mengapa demikian? Alasannya sederhana jika manusia dalam hidupnya tidak menerima Tuhan dan pada hari kematiannya ia menemukan realitas yang tidak diinginkannya, bagaimana dengan keberadaanya? Tentu jawabannya sangat tidak diperbolehkan dengan asumsi adanya kehidupan setelah kematian, karena jawaban itu hanya berlaku bagi orang religius yang malas dalam berpikir dalam kehidupannya. Dan tentu jawaban itu sungguh sangat tidak logis, tidak masuk akal dan hanya menunjukan kegiatan emosional semata pada diri manusia.