Ketika ditanya, kenapa tidak melanjutkan tinggal bersama anaknya? Dengan lirih, Rugayah mengaku empat orang anaknya juga tidak mampu dan hidup serba kekurangan. “Dari pada menjadi beban anak-anaknya, lebih baik memilih untuk hidup seadanya disini”. Sungguh potret hidup yang tak bisa ku bayangkan, di tengah kerakusan para penguasa dan elite negeri ini. “Sangat kontras,” gumamku yang hanya terlintas dibenakku.
Belasan tahun hidup di pinggir laut, pasutri yang berusia senja itu, belum pernah merasakan nikmatnya bantuan dari pemerintah. Padahal, di gubuknya berkibar salah satu bendera parpol dengan corak berwarna kuning. Namun, kibaran bendera partai penguasa itu, tak seiring dengan kepekaan penguasa yang jarang bahkan tidak pernah melirik kehidupan kaum papa. Penguasa biasa mendekati dan terlihat peduli, jika mendekati masa kampanye atau embel-embel kepentingan popularitas lainnya.
Rugayah juga tak ingin berharap banyak. Tak juga ingin merepotkan orang lain untuk sekedar makan dan minum sehari-hari. Dengan mencari ikan bandeng dan dapat menjualnya, dengan itu pun mereka tetap optimis melanjutkan hidup. “Bagi kami, bisa hidup dan makan dari penjualan bandeng sudah cukup, nak!” tambah Ishaka, sembari mengucap kalembo ade, karena tak ada yang bisa disuguhkan.
Hidup miskin bertahun-tahun lamanya, tentu tak ada yang ingin merasakan. Namun, garis hidup telah menetapkan pasangan pasutri ini untuk tetap terkandang segala keterbatasan. Hingga ujur ini, semangatlah yang terus memantik mereka. Semangat untuk bertahan, dan semangat untuk terus bersyukur terhadap Tuhan akan kehidupan yang dinikmatinya. ***