Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan meluncurkan gebrakan baru di dunia pendidikan bernama Marketplace Guru pada tahun 2024.
Tujuannya tentu saja baik, agar sekolah bisa mendapatkan guru yang berkompeten dan guru mendapatkan imbalan yang sepantasnya.
Gagasan baru ini adalah jawaban yang diberikan Kemendikbud terhadap permasalahan guru honorer yang ada di Indonesia.
Dan harapannya calon guru tidak harus menunggu perekrutan secara terpusat.
Namun di tengah kebijakannya ini muncul beragam polemik dan kritik.
Salah satunya adalah masalah nama Marketplace Guru yang dianggap sangat tidak sopan dan tidak menghargai guru.
Salah satu kritik hadir dari Wakil Ketua Komisi 10 DPR RI Dede Yusuf.
 "Marketplace ini untuk produk barang, jadi carilah misalnya jadi 'ruang talenta', sebetulnya talent Scout yang kita sebut atau head hunter. Pakai bahasa Indonesialah, nggak usah marketplace.
 Selain itu hadir juga kritikan dari Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru  Imam Zanatul Haeri yang khawatir dengan penggunaan kata marketplace.
" Kami khawatir penggunaan kata marketplace mendegradasi guru menjadi sekedar barang jualan. Keadaan guru makin tidak terhormat.
Selain kritik banyak juga Keresahan yang disampaikan oleh masyarakat melalui media sosial terkait marketplace guru ini.
Masyarakat takut jika nanti ada praktek nepotisme pada marketplace guru.
Sekolah dianggap bisa saja hanya mementingkan dan memilih orang terdekatnya dan guru akhirnya makin susah mendapatkan pekerjaan.
Jadi apa solusi yang tepat?
Penggunaan kata marketplace sebenarnya bukan menjadi masalah yang besar, ini semua tergantung dengan cara kita memandang.
Jika berdasarkan arti dari kamus Oxford market place berarti situasi (tempat aktual atau sarana) di mana dua orang atau lebih sepakat untuk membeli atau menjual produk atau jasa.
Jika dilihat dari sudut pandang kata jasa, yang di mana seorang guru memang menawarkan jasanya, maka seharusnya tidak ada masalah.
Namun yang jadi masalah di Indonesia marketplace lekat dengan tempat jual barang sehingga kata ini dianggap kurang sopan.
Solusi terbaik Kemendikbud harus merubah kata marketplace dengan nama yang lebih ramah untuk dibaca dan didengar sehingga tidak terkesan merendahkan guru.
Misal bisa dipakai "Ruang Pengajar, Ruang Talenta, Ruang Pendidik" saya percaya Kemendikbud sebenarnya bisa lebih kreatif memilih nama.
Terbukti ada SIJALI untuk platform dosen, ada sister, Merdeka Belajar, dan banyak lagi.
Masih ada waktu untuk Kemdikbud memilih nama yang tepat.
Solusi lain, berkaitan dengan bagaimana Kemendikbud bisa memastikan bahwa tidak ada indikasi praktek nepotisme buntut dari marketplace ini?
Menurut saya sistem harus lebih diperketat pengaturan pemilihan guru yang tepat harus berada di bawah kendali Kemendikbud.
Alangkah lebih baik lagi, jika saat memilih guru, sekolah harus memilih minimal 3 orang.
3 orang ini akan diseleksi kembali oleh sistem yang dibuat oleh Kemendikbud dan baru dinyatakan guru yang tepat.
Terdengar rumit? Tapi tidak ada cara lain untuk bisa meminimalisir praktik nepotisme di marketplace guru.
Memang terdengar cukup sulit, tapi untuk sampai pada perubahan, harusnya kita rela untuk berdarah - darah.
Saya pribadi setuju dengan usulan Kemendikbud ini.
Ini adalah salah satu langkah visioner jika diterapkan dengan benar.
Bagaimana menurut mu ?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI