Saya kaget juga ketika Nadiem mengeluarkan kebijakan secepat itu. Tak perlu menunggu 100 hari. Ia telah mengeluarkan paket kebijakan "Ronde Pertama." Bahkan, ia berjanji akan mengeluarkan paket kebijakan pada ronde-ronde berikutnya. Yang lebih mendasar. Lebih strategis.
Saya berharap ia bisa mewujudkan paket kebijakan "Ronde Pertamanya" itu.
Agar menteri yang menjadi representasi dari generasi milineal ini, sukses. Agar Jokowi tidak saja dikenang di bidang infrastruktur --yang memang hebat itu. Tapi, juga kelak dikenang piawai di bidang pengembangan SDM.
Paket kebijakan yang berani seperti itu, memang yang harus dilakukan Nadiem.
Itu membuktikan bahwa ia telah melakukan terobosan yang signifikan. Di saat kualitas pendidikan kita masih begitu-begitu saja. Di saat berbagai upaya telah ditempuh, tapi tetap saja pendidikan kita terperosok di urutan bawah.
Paket kebijakan yang diusung Nadiem kali ini adalah "Merdeka Belajar."
Saya tahu kebijakan ini pasti menimbulkan pro kontra. Oleh karena itu, berani mencetuskan kebijakan seperti itu, saya kira sudah hebat. Apalagi bisa mewujudkannya. Siapa tahu nanti akan sukses besar.
Merdeka Belajar merupakan kebijakan yang berani. Karena inti dari kebijakan itu merupakan antitesis dari kebijakan sebelumnya. Di dalamnya memuat empat pokok kebijakan. Yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh Nadiem di hadapan DPR RI.
Pertama, tentang USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional).
Kelak USBN akan dikembalikan pada "khittah-nya." Yang berhak menilai siswa hanya guru. Begitulah amanat UU Sisdiknas. Para guru dianggap paling memahami kemampuan siswanya.
Model asesmen pengganti USBN nanti, tidak hanya berupa tes tertulis. Bentuknya lebih fleksibel. Bisa berupa penugasan, portofolio, dan project kolaboratif. Pelaksanaannya juga tidak harus di penghujung tahun ajaran.
Selama ini, para guru hanya sebagai penerima dan pengguna soal-soal USBN. Yang dibuat Dinas Pendidikan bersama dengan MGMP.
Kelak para guru harus bisa membuat assesmen sendiri. Tugas Dinas Pendidikan bergeser. Tidak lagi mengurus USBN. Tapi, harus mengembangkan kapasitas guru.
Dengan begitu, diharapkan tekanan (psikologis) bagi siswa akan berkurang. Siswa akan memiliki lebih banyak kesempatan dan cara, untuk menunjukkan kompetensinya.
Kedua, Ujian Nasional (UN).
Pengganti UN adalah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Yang berfungsi sebagai alat pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan.
UN selama ini dinilai memiliki beberapa kelemahan. Terutama, karena tidak bisa digunakan sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Sebab, UN dilaksanakan di akhir jenjang. Hasil UN tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa.
Asesmen Kompetensi ini lebih bertujuan untuk mengukur kompetensi bernalar. Terutama, pada teks (literasi) dan angka (numerasi). Sedangkan, survei karakter untuk mengukur aspek-aspek lain. Yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah.
Bisa saja asesmen baru nanti dianggap bersifat high stakes. Jika itu terjadi, para guru berpotensi menekan siswa untuk mendapat skor tinggi.
Dampak seperti ini, kabarnya, akan di-mitigasi melalui berbagai cara.
Misalnya, hasil asesmen tidak memiliki konsekuensi apapun bagi siswa. Tapi, hasil asesmen itu untuk memperbaiki pembelajaran. Hal ini dimungkinkan. Karena asesmen itu didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar). Yang bisa menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Hasil asesmen nanti justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan. Misalnya, dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Ketiga, penyederhanaan RPP.
RPP pada prinsipnya bisa disederhanakan. Asalkan tetap sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi kepada siswa. Tidak ada persyaratan jumlah halaman. Guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP.
Ada tiga komponen inti dari RPP. Yakni, tujuan pembelajaran, langkah- langkah pembelajaran (kegiatan), dan penilaian pembelajaran (asesmen). Komponen-komponen lainnya hanya pelengkap. Kelak diharapkan tak ada lagi keberatan dari guru untuk urusan ini.
Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) zonasi.
Pada prinsipnya, Pemerintah Pusat memberikan fleksibilitas kepada daerah. Untuk menentukan alokasi bagi siswa masuk ke sekolah. Melalui jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua/wali, atau jalur lainnya (dapat berupa jalur prestasi). Persentasenya pun berubah. Menjadi lebih fleksibel. Dengan kondisi yang lebih proporsional.
Perubahan ini dilakukan sebagai penyempurna atas implementasi PPDB pada tahun-tahun sebelumnya.
Dus, kebijakan Merdeka Belajar adalah satu paket kebijakan yang terdiri dari beberapa kegiatan. Yang berbeda jenis dan waktu pelaksanaannya. Tapi, diikat dalam "satu tema."
Saya bisa membayangkan betapa rumitnya Tim Kemdikbud yang menyiapkan paket kebijakan ini. Juga, betapa repotnya mereka menyiapkan paket kebijakan untuk ronde-ronde berikutnya.
Pun, bagaimana mereka mengawal seluruh paket kebijakan itu, sampai mendapatkan persetujuan DPR. Sampai kebijakan itu bisa di-implementasikan.
Apalagi jika Nadiem segera mengeluarkan paket kebijakan lebih mendasar, pada ronde berikutnya.
Presiden Jokowi pun saat ini telah mengeluarkan "jurus sakti" di bidang hukum. Dengan paket Omnibus Law-nya.
Dan, Nadiem telah mengeluarkan "jurus gabungan" pada ronde pertamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H