Tapi, jika program itu ia lakukan tergesa-gesa, bukan tanpa risiko. Setidaknya akan menimbulkan tiga implikasi yang tidak sederhana.
Pertama, masalah kurikulum.
Kurikulum 2013 (K-13) yang digunakan oleh sekolah saat ini, tidak melulu menyiapkan para siswa untuk mengisi lowongan kerja. Sementara itu, program link and match mensyaratkan kompetensi dan keterampilan yang spesifik untuk memasuki dunia kerja.
K-13 sebenarnya sudah memuat kecakapan yang dibutuhkan pada abad 21. Tapi, tidak dijabarkan secara detail. Jadi belum bisa dipastikan apakah masih sesuai dengan kebutuhan era industri 4.0.
Untuk menciptakan link and match itu, pemerintah tampaknya perlu menyelaraskan kurikulum. Bila perlu dari PAUD hingga perguruan tinggi. Risikonya tentu akan ada pergeseran. Akan ada perubahan atau penambahan.
Kedua, masalah perbukuan.
Dampak dari penyelarasan kurikulum itu, hampir pasti merembet pada urusan perbukuan. Buku-buku yang digunakan di persekolahan harus disesuaikan. Bila perlu diganti.
Melalui dana BOS dan DAK, pemerintah telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk penyediaan buku teks utama, teks pendamping dan buku nonteks.
Buku-buku yang sudah terlanjur dibeli itu tidak selamanya bisa digunakan oleh sekolah. Karena beberapa bagian akan menjadi tidak relevan.
Belum lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU Sistem Perbukuan. Yang menegaskan bahwa buku teks utama (terbitan pemerintah) berbeda dengan buku teks pendamping (buatan penerbit). Kemdikbud harus melaksanakan PP itu.
Sejauh ini kedua jenis buku itu masih sama "jenis kelaminnya."