Sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak kita. Terutama saat mereka sudah mendekati ujian akhir.
Anak saya yang kedua, saat ini sudah kelas sembilan. Setiap hari, pagi-pagi sekali ia sudah harus berada di sekolah dan harus mengikuti les privat dengan tutor dari luar. Pulang sekolah sudah ashar. Setelah maghrib harus mengikuti les lagi di luaran. Bagi saya tak menjadi soal jika anak saya seharian di berada sekolahan dan malam hari berada di tempat les privat. Bukan itu yang membuat saya risau.
Kenapa anak saya yang kedua juga tidak menunjukkan gelagat untuk mencintai buku? Itu kerisauan saya sebagai orang tua. Buku-buku tebal yang saya belikan juga jarang dibuka. Tampaknya, ia justru lebih tertarik membaca buku-buku ensiklopedi dan novel-novel yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Itu sebenarnya membuat saya cukup lega. Â
Sebagaimana pada umumnya orang tua, saya pun memiliki  harapan optimum terhadap sekolah. Misalnya, supaya ia menjadi anak yang sholeh dan pintar, bisa menyampaikan gagasan di depan orang banyak, bisa bilang tidak, jika ia tidak setuju, mampu mempertanyakan sesuatu, tahu bagaimana cara meningkatkan diri, tahu apa keinginannya dan bagaimana mewujudkannya kelak, tahu bagaimana cara bangkit jika suatu saat ia melemah, dan mampu menghormati perbedaan. Pendek kata, anak-anak saya bisa menguasai seluruh taksonomi yang dicetuskan oleh Tuan Benjamin S. Bloom.
Saya tahu, sekolah pasti tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Sedangkan, Cak Nun saja menganggap kita sering tidak fair terhadap sekolah. Karena berharap muluk-muluk kepada institusi Pendidikan tersebut.
Saya sadar betul mengenai hal itu; saya sadar bahwa sekolah tidak memiliki kompetensi untuk mewujudkan apa saja yang saya inginkan sebagai orang tua.
Karena itu, saya pikir lebih baik saya turunkan saja harapan saya ke tingkat minimum. Saya ingin sekolah menjadikan anak saya suka pada buku saja. Hal-hal lain akan menyusul kemudian; yang penting ia kemudian suka membaca buku. Mengapa?
Sebab, saya percaya, pelajaran apa pun akan menjadi mudah jika anak saya gemar membaca buku.
Ia bisa belajar fisika dari "buku babon" karangan Mathen Kanginan, niscaya ia tak akan canggung ketika mengikuti olimpiade fisika di tingkat kabupaten/kota. Ia juga tidak keberatan untuk membuka-buka buku matematika terbitan pemerintah yang tebalnya selengan orang dewasa. Ia juga bisa belajar soal-soal ujian dari buku Detik-Detik, SPM, Real Mentor atau PASS. Atau, belajar soal semesteran dari MBP, Brilian, Solatif, Bupena. Ia bisa memelajari berbagai kecakapan yang ia minati dari buku-buku itu.
Jika anak saya kelak ingin menjadi professor seperti Bapak Menteri, maka dari sekarang sekolah harus memberinya kecakapan dan kegemaran membaca buku. Sebab, seluruh ilmu pengetahuan ditularkan dari satu orang ke orang lainnya melalui buku-buku. Suatu saat ia tentu akan menghadapi masalah dan, jika ia suka membaca buku, ia bisa menemukan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut dari buku-buku yang ia baca. Ia akan memiliki cukup pengetahuan dan wawasan untuk menjalani hidupnya kelak. Dan, saya akan menjadi lebih tenteram sebagai orang tua jika anak saya suka membaca buku.
Namun, sekalipun saya sudah menurunkan harapan ke tingkat minimum, tetap saja sekolah belum memenuhi harapan saya. Sekolah tidak mampu menjadikan anak saya benar-benar gemar membaca buku. Apalagi mencintai buku. Hingga saat ini.