Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Elektronik untuk Bapak Menteri

31 Maret 2018   17:55 Diperbarui: 2 April 2018   09:07 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak Menteri yang saya hormati, sebagai orang yang berkecimpung di industri perbukuan, dan sebagai orang tua, maafkan jika saya memprotes sekolah anak saya. Karena menurut saya, sekolah itu tidak mampu mendidik anak saya untuk menjadikannya anak yang suka membaca buku. Apalagi jika harus membuat seluruh siswanya keranjingan membaca buku.

Sebenarnya sudah lama saya memendam kegundahan ini. Surat elektronik ini saya tulis agak tergesa-gesa. Karena dipicu oleh peristiwa tadi pagi. Itu pula yang mendorong saya untuk menulis surat ini entah nanti sampai berapa halaman.

Pak Menteri, kemarin pagi, ketika saya mengantar anak sulung saya pergi ke sekolah ---biasanya ia berangkat sendiri. Tiba-tiba saja, saya dihinggapi oleh perasaan iba saat memandangi anak saya ketika masuk ke pintu gerbang sekolah. Rasa iba bercampur penasaran. Apalagi kalau bukan karena tas ransel yang saban hari harus digendongnya dari saat mulai berangkat hingga pulang sekolah.

Sebagai lembaga di bawah otoritas dari kementerian yang Bapak pimpin, saya masygul. Kenapa sekolah-sekolah zaman now tak bisa menjalankan fungsi terpentingnya. Yaitu, menjadikan anak didiknya mencintai buku? Kalau pun tidak sampai mencintai, setidaknya sekolah-sekolah itu bisa menjadikan anak-anak suka pada buku. Syukur-syukur kesukaannya itu mengalahkan kesukaannya pada internet.

Jadi, apa yang  sebenarnya terjadi? Apa yang salah dengan Kurikulum 2013? Buat apa setiap tahun ada pembelian buku milik pemerintah dan swasta? Apa saja yang diajarkan di sekolah? Selain berjam-jam berada di ruang kelas, mengerjakan tugas kelompok, baris-berbaris dan kegiatan ekstra kurikuler?

Saya tak habis pikir untuk apa setiap hari anak sulung saya harus datang pagi-pagi sekali ---kadang masuk siang, dengan tetap menggendong tas ransel seberat 30 kilo dan baru pulang ketika hari mulai senja?

Sejak kelas satu SMA, rutinitas itu dilakukannya setiap hari. Tapi, kenapa hal itu tidak membawa pengaruh yang berarti; yang menunjukkan tanda-tanda anak saya mulai menyukai buku? Buku-buku yang saya belikan memang kelihatan menjadi lusuh dan berlipat-lipat. Tapi, ada juga yang tetap terlihat seperti buku baru. Terutama buku-buku yang setebal bantal bayi.

Itu problem serius buat saya. Mungkin juga menjadi problem bagi sebagian besar orang tua.

Jika terus-menerus seperti itu, siapapun akan terancam bengkok tulang belakangnya karena tas ranselnya terlalu berat. Saat mengantarkan anak sulung saya tadi pagi, saya seperti menyaksikan anak saya itu sedang menggendong dua barbel besi di punggungnya. Itu seperti kebiasaan Bapak Menteri dan saya dulu ketika berangkat menuju tempat latihan silat di kompleks Pesantren Takeran, Magetan.

Berangkat dan pulang kita sama-sama harus menenteng senjata toya di tangan kanan dan menggendong tas yang berisi seragam latihan dan barbel yang terbuat dari kendil yang dikeraskan dengan adukan semen dan pasir. Bedanya pada zaman Bapak dulu, pakaian yang digunakan masih terbuat dari kantong gandum yang di-wenter. Pada zaman saya sudah ada yang mulai memakai kain tetoron.

Sekarang, situasinya cukup merisaukan, Pak Menteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun