Bulir-bulir hujan persis mirip bulir-bulir sebuah minuman jeruk buatan negeri paman Sam, menempel tanpa seka, bening serta berkoloni. Pertanda kembali lagi ke masa hujan, Alhamdulillah hujan kali ini ditemani bidadari, sehingga baper sudah Terkikis namun lapar yang tersisa.
30 Maret kemarin adalah hari lahir dari Penakluk Konstantinopel, yaitu Muhammad AL Fatih, seorang pejuang Islam yang mahsyur dalam era Turki Utsmany, sebagai sedikit reminder hidup bahwa semua hal telah berjalan semestinya. Alhamdulillah ala kuli haal.
Di sudut-sudut keramaian, terlihat pasukan biru dan pasukan hijau mulai intim menjalin hubungan mesra sebelumnya, karena kisruh yang terkesan “rekayasa”. Demo berujung mogok massal plus sweeping atas sarana transportasi yang mereka anggap sarana publik. Sebenernya agak kurang tepat jika taksi dan ojek dianggap sarana transport publik, karena sifatnya yang privasi dan pribadi, beda konteks bila hal yang digaungkan adalah bus umum, kereta Commuter atau transporter yang mengangkut penumpang secara massif.
Sebagian lagi sibuk dengan perang bintang antara Superman dan Batman yang akhirnya bertemu, hingga Rangga dan cinta yang tak lagi dipisahkan oleh purnama, karena Amerika sedang musim dingin sehingga purnama tak lagi nampak. Hingga ibu-ibu yang terdoktrin dengan sinetron-sinetron yang mengejar rating semata, khusyuk menyimak cerita-cerita yang dianggap kurang pas. Kenapa tidak pas? Karena anak sekolah lebih mementingkan style dibanding mengisi otaknya dengan ilmu, lebih mementingkan dandanan dibanding dengan persaingan pasar bebas hingga tak menghormati orang tua karena keinginannya tak terkabul, ah Zainuddin kadang lelah. Tontonan yang tidak menjadi tuntunan, kok bisa jadi primadona di primetime? Sudah kebolak-kebalik, layaknya wanita yang kelelakian hingga laki-laki yang menyerupai wanita atau bahkan sebagai fans base LGBT.
Memaknai hidup, adalah sebuah proses menghargai hidup, tentang sebuah perjuangan, harga diri, cita-cita, cinta hingga cita-citata ( maksudnya cita-cita yang ada soundtrack musiknya) hehe *pasti bingung ya? Sama dong, sambil tepuk jidat.
Layaknya lilin yang akan menjadi parafin kembali, kira-kira begitulah episode hidup kita. Karena kematian itu pasti, namun critical pointnya adalah sejauh mana bekal kita menuju ke sana?
Memaknai hidup, bukan sekedar menjalani hidup tanpa manfaat hingga hidup tanpa rencana. Sekedar info saja, tua itu pasti, dewasa itu pilihan. Namun kadang ketidakadilan datang, mengapa muka boros saja dianggap dewasa saat memotong rambut di tukang cukur? Atau dewasa diukur dari Capaian tangan kita ke telinga sebelahnya ( iklan susu zaman dulu). Hmmm, memang semua tergantung persepsi. By judgement, tidak ada yang pasti dan indikator yang jelas mengenai kriteria baik secara fisik maupun secara genetika.
Memaknai hidup,Bukan sekedar menyerah dengan keadaan.
Bonus demografi sudah siap dirasakan, Dimana bersiap-siaplah memasuki era baru, entah sharing Economics, sharing kerjaan, sharing transport, sharing cost hingga sharing begadangan ( baca : sering begadang).
Memaknai hidup,
Sama saja dengan menilai hidup kita,
Penuh dosa, banyak murka, penuh dusta tapi masih asa waktu untuk berubah menjadi lebih baik dan jauh dari siksa.