Mohon tunggu...
Muhammad Bayu Pratama
Muhammad Bayu Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa ITB

Pembelajar yang mencoba menyampaikan pandangannya terkati permasalahan yang ada di sekitarnya Terlibat dalam Pers Mahasiswa ITB dan Kader Surau ITB

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Anak Nasional, antara Tawa dan Lara Anak Jalanan

24 Juli 2019   00:27 Diperbarui: 24 Juli 2019   14:46 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali kita mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa "masa kecil adalah masa yang paling indah." Ungkapan tersebut menggambarkan bagaimana kondisi masa kecil seseorang pada umumnya. Orang tua memiliki peranan penting bagi anak dalam menjalani masa kecilnya. Orang tua akan mendampingi anaknya untuk belajar dan bermain hal-hal baru untuk mendukung perkembangan sang anak. Mulai dari aktivitas belajar berjalan dan berbicara, mengenal dan berinteraksi kepada orang lain, membaca ilmu pengetahuan, hingga mengenalkan berbagai macam pelajaran hidup. 

Orang tua akan benar-benar mengamati dan mendampingi setiap proses pada tumbuh kembang anak. Karena sejatinya anak diibaratkan sebagai mutiara dan juga merupakan titipan dari Sang Pencipta kepada kedua orang tuanya. Sehingga, perjalanan masa kecil merupakan aset bagi kehidupan seseorang ke depannya. 

"Orang dewasa dapat membuat perang, namun anak-anaklah yang menciptakan sejarah kehidupan." -- Ray Merrit, penulis buku 'Full of Grace'  


 

          

Kehidupan Potret Anak Jalanan

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, bagian 1 pasal 1, yang disebut anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku di setiap negara yang menentukan usia dewasa lebih awal. Berbeda dengan konvensi tersebut, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah sejak masih dalam kandungan hingga 19 Tahun.  

Sedangkan menurut peraturan perundangan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menggantikan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Ayat 1, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dan termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. 

Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) tahun 2015 (Bappenas, 2019), kelompok umur 0-14 tahun (usia anak-anak) mencapai 66,17 juta jiwa atau sekitar 24,8% dari total populasi sekitar 266,91 juta jiwa. Artinya Indonesia patut bersyukur memiliki kekayaan sumber daya manusia yang melimpah berupa penduduk usia anak-anak. 

Namun sayangnya, tidak semua anak memiliki keberuntungan yang sama untuk hidup secara layak dan menikmati keindahan masa kecilnya. Terdapat anak-anak yang hidup dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak beruntung. Sehingga, mereka harus membantu keluarga mereka untuk mencari rezeki dan meninggalkan kehidupan layak seorang anak. 

Tidak sedikit pada akhirnya kehidupan anak-anak tersebut beraktivitas di jalanan dengan berbagai macam pekerjaan mulai dari jualan asongan, menjadi pengamen, pengemis, hingga melakukan perbuatan kriminal seperti mencopet. Hal tersebut mereka lakukan bukan semata-mata karena kemauan mereka tetapi karena dorongan dari orang tua mereka atau kelompok tertentu.

Definisi anak jalanan berbeda-beda setiap ahli. Salah satunya menurut Utoyo (dalam Munawir Yusuf dan Gunarhadi, 2003: 7) menyebutkan bahwa sebagian besar waktu anak jalanan dihabiskan di jalan, mencari uang dan berkeliaran di jalan atau di tempat-tempat umum lainnya yang usianya 7 sampai 15 tahun".  Sedangkan secara karakteristik, menurut Departemen Sosial (dalam Dwi Astutik, 2005: 21-22), "Anak jalanan memiliki karakteristik meliputi ciri-ciri fisik dan psikis". 

Ciri-ciri fisik antara lain: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian tidak terurus. Sedangkan ciri-ciri psikis antara lain: mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, kreatif, semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, dan mandiri.  

Potret anak jalanan tersebut dapat dilihat dalam film Alangkah Lucunya (Negeri ini) yang menggambarkan kehidupan sekelompok anak jalanan yang dipimpin oleh seorang bos bernama Jarot. Anak-anak jalanan tersebut beroperasi sebagai pengamen hingga pencopet di pasar. Film yang disutradarai oleh Deddy Mizwar ingin menampilkan realita bagaimana kerasnya kehidupan anak jalanan. 

Lara membalut tawa anak-anak tersebut di masa indah mereka. Sulitnya mencari uang hingga pergaulan bebas maupun tindakan kejahatan yang setiap saat menghantui kehidupan mereka merupakan masa-masa pahit yang mungkin mereka lalui. Salah satunya yang ditemui oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada saat bersepda di Jalan Asia Afrika, Bandung. 

Kang Emil, sapaan akrab Gubernur Jawa Barat, menemukan 3 orang anak yang asyik 'ngelem' atau mabuk menggunakan lem. Mereka merupakan anak putus sekolah akibat ketidakmampuan orang tua membiayai sekolah mereka. Akhirnya ketiga anak tersebut memilih bermain dan menggelandang setiap hari di sekitar alun-alun. Potret tersebut merupakan sebagian kecil kerasnya kehidupan anak jalanan.

0 Advanced issues found

 

Potret Kehidupan Anak Jalanan (Sumber : pestabloggerphotocontest.com)
Potret Kehidupan Anak Jalanan (Sumber : pestabloggerphotocontest.com)

Saya pun beberapa kali menemui anak jalanan di sekitar tempat saya berkuliah di ITB. Salah satunya 3 orang adik-kaka yang senantiasa menjajakan tisu kepada para pengunjung Masjid Salman seharga Rp 5.000,00. Mereka menawarkan tisu tersebut dengan penuh iba sehingga tak jarang pengunjung pun membantu mereka. Lain halnya dengan kehidupan beberapa anak yang dapat dikatakan remaja di bawah Jembatan Pasopati Bandung yang menghabiskan harinya dengan menjadi pengamen, pengemis, maupun pekerjaan lainnya. 

Namun sayangnya, mereka habiskan malam dengan 'ngelem' atau mabuk-mabukan. Tidak sedikit dari mereka pun menjadi korban kekerasan seksual yang tentu akan sangat berbekas untuk masa depan mereka. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos Nahar (2017) mengungkap, kasus tertinggi yang menimpa anak-anak jalanan selama tahun 2016 adalah pencabulan sebanyak 2.117 kasus. Kemudian di peringkat kedua ada pencurian sebanyak 1.244 kasus dan posisi ketiga, yaitu penganiayaan atau perkelahian sebanyak 1.115 kasus. 

Lalu, tanggung jawab siapa permasalahan anak jalanan ini? Apakah kita hanya akan mengandalkan tangan pemerintah saja? Perlu adanya kepeduliaan dan kerja sama antar berbagai instansi untuk mengentaskan permasalahan anak jalanan.

Lantas, Hari Anak Nasional untuk siapa? 

Dalam kalender perayaan hari nasional, 23 Juli ditetapkan sebagai hari anak nasional. Betapa menyenangkannya menjadi anak Indonesia yang memiliki hari perayaan tersendiri dan begitu spesial. Tetapi, kenapa ya 23 Juli ditetapkan sebagai hari anak nasional? 

Hari Anak Nasional pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden RI Nomor 44 tahun 1984. Alm. Soeharto menyampaikan bahwa anak-anak merupakan aset kemajuan bangsa, sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). 

Perhatian pemerintah terhadap anak-anak terus meningkat dimulai dari pembuatan kebijakan UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No, 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pembentuk komite independen yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga perubahan Kementerian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Pemerintahan Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai acara dan sosialisasi pun dilakukan setiap tanggal 23 Juli baik di tingkat nasional maupun daerah. 

Namun sayangnya, hari anak nasional belum benar-benar berdampak terhadap perubahan kesejahteraan dan perlindungan anak jalanan. Walaupun pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial mengklaim bahwa telah terjadi penurunan jumlah anak jalanan menjadi 16 ribu di 35 Provinsi. Namun, jumlah tersebut bukanlah hasil yang memuaskan sehingga perlu penguatan kembali di dalam penyelesaian permasalahan anak jalanan. 

Pemerintah yang dimandatkan oleh UUD 1945 untuk mengurusi fakir miskin dan anak terlentar sesuai dengan Pasal 34 Ayat 1 perlu untuk mengevaluasi program yang telah dijalankan saat ini. Karena kondisi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar hak anak yang dikemukakan pada Konvensi Hak Anak,  yaitu : non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan Penghargaan terhadap pendapat anak. 

Namun, permasalahan anak jalanan sepatutnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata dalam hal ini Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. 

Seharusnya keterlibatan pihak swasta, media, maupun lembaga pendidikan perlu untuk berkolaborasi didalam mendorong pengentasan anak jalanan di berbagai kota besar. Program pemberdayaan yang didasari oleh kemampuan hardskill maupun softskill dapat diberikan kepada anak jalanan sehingga mereka tidak lagi bekerja di jalanan secara tidak layak namun mampu melakukan hal yang lebih produktif. Pemerintah dapat menjadi jembatan dari berbagai kepentingan yang dapat mendukung pengentasan anak jalanan. 

Lantas, masihkah kita akan tetap membiarkan lara pada anak jalanan atau mengembalikan tawa pada masa kecil mereka?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun