Mohon tunggu...
Muhammad Bayu Pratama
Muhammad Bayu Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa ITB

Pembelajar yang mencoba menyampaikan pandangannya terkati permasalahan yang ada di sekitarnya Terlibat dalam Pers Mahasiswa ITB dan Kader Surau ITB

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Anak Nasional, antara Tawa dan Lara Anak Jalanan

24 Juli 2019   00:27 Diperbarui: 24 Juli 2019   14:46 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan masa kecil (Sumber : https://www.ngopy.com/content/images/sifat-asertif.jpg )

Dalam kalender perayaan hari nasional, 23 Juli ditetapkan sebagai hari anak nasional. Betapa menyenangkannya menjadi anak Indonesia yang memiliki hari perayaan tersendiri dan begitu spesial. Tetapi, kenapa ya 23 Juli ditetapkan sebagai hari anak nasional? 

Hari Anak Nasional pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden RI Nomor 44 tahun 1984. Alm. Soeharto menyampaikan bahwa anak-anak merupakan aset kemajuan bangsa, sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). 

Perhatian pemerintah terhadap anak-anak terus meningkat dimulai dari pembuatan kebijakan UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No, 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pembentuk komite independen yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga perubahan Kementerian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Pemerintahan Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai acara dan sosialisasi pun dilakukan setiap tanggal 23 Juli baik di tingkat nasional maupun daerah. 

Namun sayangnya, hari anak nasional belum benar-benar berdampak terhadap perubahan kesejahteraan dan perlindungan anak jalanan. Walaupun pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial mengklaim bahwa telah terjadi penurunan jumlah anak jalanan menjadi 16 ribu di 35 Provinsi. Namun, jumlah tersebut bukanlah hasil yang memuaskan sehingga perlu penguatan kembali di dalam penyelesaian permasalahan anak jalanan. 

Pemerintah yang dimandatkan oleh UUD 1945 untuk mengurusi fakir miskin dan anak terlentar sesuai dengan Pasal 34 Ayat 1 perlu untuk mengevaluasi program yang telah dijalankan saat ini. Karena kondisi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar hak anak yang dikemukakan pada Konvensi Hak Anak,  yaitu : non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan Penghargaan terhadap pendapat anak. 

Namun, permasalahan anak jalanan sepatutnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata dalam hal ini Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. 

Seharusnya keterlibatan pihak swasta, media, maupun lembaga pendidikan perlu untuk berkolaborasi didalam mendorong pengentasan anak jalanan di berbagai kota besar. Program pemberdayaan yang didasari oleh kemampuan hardskill maupun softskill dapat diberikan kepada anak jalanan sehingga mereka tidak lagi bekerja di jalanan secara tidak layak namun mampu melakukan hal yang lebih produktif. Pemerintah dapat menjadi jembatan dari berbagai kepentingan yang dapat mendukung pengentasan anak jalanan. 

Lantas, masihkah kita akan tetap membiarkan lara pada anak jalanan atau mengembalikan tawa pada masa kecil mereka?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun