Isu panas BPJS Kesehatan akan mengalami defisit pada tahun 2024 terus menjadi perbincangan. Di tahun 2024, BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp20 triliun, yang mencerminkan adanya ketidakseimbangan serius antara pendapatan dari iuran peserta dengan klaim yang harus dibayarkan ke rumah sakit. Kondisi ini akan berdampak pada potensi gagal bayar dan peningkatan iuran di masa mendatang. Potensi gagal bayar ini akan di kemudian hari akan menimbulkan potensi gangguan pada operasional fasilitas kesehatan, seperti kesulitan keuangan jika klaim terlambat dibayar. Risiko lain yang dapat timbul adalah pelayanan kesehatan yang kurang optimal, seperti risiko antrean panjang di fasilitas layanan kesehatan.
Diketahui bahwa defisit ini terjadi karena naiknya utilisasi pelayanan kesehatan yang semula 252 ribu per hari menjadi 1,7 juta per hari. Kenaikan ini mencerminkan bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diberikan telah memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Namun, tentunya peningkatan ini juga membawa tantangan yang serius bagi keuangan BPJS Kesehatan. Dengan semakin banyak peserta yang menggunakan layanan kesehatan, klaim yang akan diajukan fasilitas kesehatan juga akan meningkat yang nantinya akan menekan stabilitas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.Â
Defisit ini juga besar kemungkinan terjadi karena peningkatan klaim pelayanan kesehatan yang melebihi pendapatan dari iuran peserta. Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby mengatakan hal ini terjadi sejak tahun 2023.
"Sejak 2023, ada gap cross, artinya antara biaya dengan premi sudah lebih tinggi biayanya. Lost ratio yang terjadi di BPJS Kesehatan antara pendapatan premi dengan klaim yang dibayarkan bisa mencapai 100 persen. Ini yang membuat kondisi BPJS Kesehatan semakin tertekan dan mengancam kegagalan pembayaran klaim," tuturnya.Â
Sebagai sumber utama dana yang digunakan BPJS Kesehatan untuk membayar klaim pelayanan kesehatan, DJS Kesehatan akan memiliki aset bersih sebesar Rp32 triliun pada akhir tahun 2024 (berdasarkan perhitungan BPJS Kesehatan). Nantinya, dana ini akan digunakan untuk mendanai pengeluaran klaim pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit hingga fasilitas kesehatan lainnya. Namun, angka tersebut (aset bersih) tidak akan cukup jika kondisi defisit ini terus berlanjut. Jika tidak ada langkah strategis yang dilakukan, cadangan dana DJS Kesehatan akan mencapai titik kritisnya pada tahun 2026, sehingga potensi risiko gagal bayar akan benar-benar terjadi.Â
BPJS Kesehatan sendiri memiliki berbagai skenario untuk menghindari potensi gagal bayar ini. Namun, menurut Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, skenario ini masih belum bisa dipastikan akan digunakan. Penyesuaian iuran kepesertaan menjadi salah satu skenario yang mungkin akan dilakukan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024, iuran BPJS Kesehatan bisa dievaluasi setiap dua tahun, sebut Ali.Â
Penyesuaian iuran BPJS Kesehatan terakhir kali dilakukan pada tahun 2021. Saat itu rinciannya adalah sebagai berikut.Â
Kelas I : Rp150.000/bulan
Kelas II: Rp100.000/bulan
Kelas III: Rp42.000/bulan, peserta membayar Rp35.000/bulan setelah subsidi pemerintah sebesar Rp7.000
Penyesuaian ini berhasil membantu menyeimbangkan keuangan BPJS Kesehatan untuk sementara waktu, namun lonjakan klaim kembali menciptakan tekanan finansial.Â
Untuk menghindari gagal bayar, penyesuaian iuran dapat dilakukan dengan meningkatkan kontribusi peserta yang lebih mampu, melalui penyesuaian iuran berbasis penghasilan. Perlu ditekankan lagi, kenaikan iuran adalah salah satu dari beberapa cara yang mungkin akan digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk menghindari potensi gagal bayar yang akan terjadi pada 2026.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H