Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Insiden Timor-Timor dalam Karya Sastra

28 April 2020   10:15 Diperbarui: 28 April 2020   10:17 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Santa Cruz

Aspal itu merah, seperti darah

"Itu sirop," kata Bapak

Tapi Ibu mencariku dengan gelisah

Aku tak tahu di mana diriku tertembak

5 Januari 1992

Santa Cruz. Salah satu sajak Seno Gumira Ajidarma. Sajak liris tersebut menggambarkan insiden sadis, miris, dan tragis di pemakaman Santa Cruz, Timor-Timor. Seno adalah salah satu dari tiga wartawan yang meliput aksi demontran. Saat itu ia menjabat redaktur di salah satu majalah ibukota, Jakarta Jakarta (JJ).

Sajak Santa Cruz adalah kias kehidupan atas katarsis penyair saat melancarkan tugas---wawancara bersama saksi mata pada insiden pembantaian di Dili, 12 November 1991. Disebutlah insiden, tentang kebenaran kejadian, bukanlah sesuatu yang dikehendaki pemerintah. Melainkan, murni sebuah kejadian yang tidak dapat dikendalikan dan dihentikan.

Perihal insiden Santa Cruz, sungguh menimbulkan tumpang-tindih bagi pembaca. Fakta bukan lagi menjadi nilai berita yang layak untuk diinformasikan. Seno dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam: Sastra harus benar telah membongkar kebusukan pemerintah dalam hal penyampaian informasi. Seno dengan keterbukaannya mengungkap press release yang diberikan pemerintah banyak fakta yang disembunyikan.

Namun, melalui tangan kreatif dan kehati-hatian, Seno bersama dua kawannya berhasil mengungkap, menyampaikan kebenaran itu dalam berita. Mereka memanfaatkan hasil wawancara dari saksi mata sebagai bagian dari berita. Kemudian, lengkap dengan video tape yang berhasil merekam kejadian itu. Berikut beberapa ulasan dari beberapa masyarakat di tempat kejadian perkara (TKP).

Ketidakpuasaan Seno, mengakibatkan ia berkisah langsung melalui karya sastra. Ia berkisah tentang Timor-Timor melalui karya cerpen di berbagai media. Cerpen-cerpen itu kemudian dikumpulkan ke dalam buku yang diberi judul Saksi Mata, yang pada saat itu diterbitkan Bentang tahun 1994.

Dua tahun kemudian, kembali Bentang menerbitkan novel Jazz, Parfum, dan Insiden. Sebuah novel perlawanan Seno secara terang-terangan (tanpa sensor), lengkap dengan wawancara saksi mata. Di novel itu, ia juga menyisipkan kisah bergengsi. Sebuah kisah romantika beraroma sensual dan eksotik dalam kisah parfum dan insiden.

Sungguh. Bersamaan itu, pekerjaan seorang jurnalis adalah mengungkap kebenaran. Kebenaran secara hakiki, dengan menyampaikan, menginformasikan, dan memberitakan berdasarkan lapangan. Tentu, pekerjaan semacam itu tergolong berisiko tinggi. Pasalnya, dalam kejadian muncullah oknum-oknum dengan maksud menyembunyikan kebenaran.

Insiden Timor-Timor bukanlah fenomena yang merugikan orang-orang yang terlibat langsung, melainkan jurnalis yang dikenai tugas. Pada masa presiden Soeharto, tidak ada kebebasan pers. Semua informasi diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Hingga suatu kejadian, salah seorang jurnalis dianiaya preman sampai cacat premanen. Jurnalis itu dikabarkan telah memberitakan tentang penebangan kayu secara ilegal.

Bukan suatu fakta yang layak ditutup-tutupi, masa pemerintahan Soeharto banyak insiden-insiden yang tidak manusiawi. Banyak fenomena tragis dan sadis yang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Selain di Timor-Timor, muncullah tindak kekerasan di kota Aceh. Pada kasus kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyisakan kisah pilu. Ribuan orang tewas terselimuti darah segar, sebagaimana yang terekspresikan dalam sajak Santa Cruz. 

Tentang kejadian di Aceh, kemudian melalui tangan kreatif jurnalis sekaligus penulis tersampaikan secara benar beraroma fiktif ke dalam karya sastra. Kita mengenal Arafat Nur sebagai orang pengamat sekaligus dampak dari kejadian itu. Ia berhasil membungkus aksi kekerasan dengan gaya fiktif melalui novel-novelnya. Sebutlah novel Lolong Anjing di Bulan, Percikan Darah di Bunga, Lampuki, Bayang Suram Pelangi, dan beberapa karya puisi. Secara mendalam, ia berkisah tentang sejarah Aceh pada masa itu.

Seno, Arafat, dan penulis-penulis lain adalah tangan Tuhan untuk menyampaikan kebenaran. Ketidakterbukaan informasi menjadi ketidakpuasan tersendiri bagi mereka. Berangkat dari hukum kausalitas inilah tercipta karya-karya sastra yang serupa buku sejarah. Kenikmatan dalam pembacaan sastra menjadi daya pembaca untuk mengetahui kebenaran. Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun