Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Sedih dari Ujung Utara Tanah Air

25 April 2020   10:17 Diperbarui: 25 April 2020   10:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CATATAN: 

Sebelum membaca, minumlah segelas air terlebih dahulu. Kemudian, atur napas. Bacalah dengan santai. Jangan emosi. Kalau kamu hanyut, maaf seribu maaf untuk tulisan kali ini.

*

Mas Fendik berkoko. Aku baru saja membuat sambal pecel sebagai menu sahur. Maaf ya kalau surat malam ini beraroma sambal pedas-manis, bercampur masam keringat. Hehehe.

Saat ini, lintasan di otak cukup tenang. Satu per satu telah larut. Namun, gejolak diri belum bisa dibilang tenang. Ada seseorang yang membuat marah, tapi tidak mungkin aku memarahinya. Ada pula, seseorang yang teramat menjengkelkan, tapi ya bagaimana lagi. Senyumin saja.

Untuk seorang gadis, pukul 22.30 bisa dibilang malam. Untuk aku itu mah masih spre. Begadang menjadi rutinitas yang menyenangkan. Sembari menikmati aroma kesepian kuisi dengan berbagai kegiatan yang produktif dan kadang malas-malas. Kalau hati lagi baik, aku isi dengan membaca atau menulis.

Malam, aku sering menghitungi suara tokek di pohon mangga di depan rumah. Malam pula, aku menunggu suara kokok ayam tetangga, jika sudah terdengar maka jam hampir dini hari. Ayam itu, sering mengeluarkan kaingan. Suaranya memikik malam, seolah membelah kegelapan.

Aku tidak sendirian menghabiskan waktu malam. Ada dua teman yang juga suka begadang. Kami biasa berdiskusi tentang suatu hal; atau sekadar bercerita, ataupun menonton film bersama. Tak jarang pula, kami membahas agenda esok hari. Ya, sebuah rutinitas anak rumahan yang terkadang amat menjenuhkan. Aku rindu suasana luar rumah yang akrab dengan dekadensi moral, meski kadang sakit melihatnya. Ya, cari anginlah. Ambil positifnya saja. Apa? Ya ada deh pokoknya, hiburan. Begitu.

Mas Fendik, malam ini di luar amat sepi. Ahh, sebab pandemi di perumahan jarang ada suara motor lewat. Tidak pun pandemi, orang-orang keluar rumah hanya untuk bekerja, belanja, ke masjid, atau sekadar ke rumah tetangga, itu pun jarang sekali kujumpai.

Malam sedikit panas-dingin, Mas, aku baru saja membaca buku Jurnalisme Sastrawi. Sebuah buku menarik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2005. Buku itu rekomendasi dari salah satu temanku menulis yang tinggal di Sumenep. Aku senang berteman dengannya. Kebetulan kami memiliki kesukaan sama, yaitu menulis. Dan, yang mengejutkan teman lelakiku itu adalah mantan wartawan.

Sekali, kami pernah bertemu dan bertatap muka. Dia tinggal di rumah sini sekitar tiga atau empat hari. Di sela-sela rutinitas rumah dan giat pribadi, kami sering melakukan diskusi. Berbagi pengalaman tentang menulis, membaca buku bersama, kemudian mendiskusikan buku. Kami juga bercerita tentang pengalaman kuliah. Saat ini, dia sedang menyelesaikan kuliahnya s-2 dan kehidupan pondoknya, sekaligus kerja di sebuah media online konservasi.

Penyair, bisa kubilang dia penyair muda. Ya suka membaca dan menulis puisi. Sering ikut kajian puisi pula. Setelah pertemuan itu, kutemukan hobi penggila pada lawan jenis. Kalau Seno punya Alina, dia punya Sri, dan aku punya kamu, Mas. Kami hobi mengirim surat kepada sosok idola. Sosok yang tidak kami kenali. Sosok itu teramat abstrak, sehingga kami bisa berimajinasi liar tentang sosok itu. Kami sering berpuisi dengan liris yang manis. Kami memberi nyawa di setiap kata. Sebuah kata yang mengantarkan kami pada ruang yang tidak ada ujungnya. Kami suka bermain-main di sana.

Ehh, kok aku jadi bercerita tentang hobi gila ini Mas. Maaf, kembali pada buku saja ya. Sebelumnya, aku hendak mengabarkan kalau penelitianku sudah selesai. Kira-kira ada sekitar 400-an halaman. Alhamdulillah, aku amanah.

Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Di dalam buku itu ada delapan judul tulisan, sekaligus delapan penulis dari beberapa wartawan di Indonesia. Ada Chik Rini, Agus Sopian, Linda Christanty, Coen Husain Pontoh, Alfian Hamzah, Eriyanto, Budi Setiyono, dan Andreas Harsono.

Mas tahu, mereka orang-orang hebat di pada bidangnya. Sebagaimana pekerjaannya mencari, memburu, meliput, dan mengabarkan sesuatu pada khalayak umum. Aku baru ngeh kehidupan wartawan dari buku ini. Tantangannya adalah masyarakat. Kalau wartawan memberitakan sesuatu yang kurang tepat atau sampai menyinggung seseorang, hmm tamatlah riwayatnya. Mereka bisa dicabut dari profesinya atau nyawanya menjadi buronan.

Chik Rini adalah dua dari wartawan berjenis perempuan di buku itu. Dia seorang wartawan harian Analisa, Medan. Dalam buku setebal 362 halaman,  ia menuliskan tentang peritiwa Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976-2005. Ia memotret pada peristiwa di Simpang Karaft. Chik Rini memotret Aceh dari para saksi mata di kejadian itu. Ia mewawancarai sesepuh lingkungan, masyarakat, anak-anak, juga beberapa orang yang dia temui.

Ketertarikan Rini untuk menguak tentang Aceh, bermula dari naskah Hirosima karya John Hersey. Kemudian, dia berpikir keras isu apa yang dapat dituangkan ke dalam karya yang serupa. Terpikirlah, untuk menggali sebuah pembunuhan tragis, sadis, dan miris di Aceh. Tepatnya di sebuah Simpang Kraft atau dikenal dengan Simpang KKA. Kalau dicari di internet yang muncul penyebutan terakhir.

Peristiwa Simpang Kraft itu, diberilah judul Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Mengapa kegilaan? Di situ aku menyimpulkan karena banyak fenomena sosial yang paradoks, ironi, dan beraroma kekerasan yang amat sangat memilukan.

Aku terhanyut, menyukai caranya bercerita. Bahasanya yang sederhana, lugas, komunikatif, dan deskriptif berhasil membuat telaga jebol. Bukan karena kejadian itu diceritakan dengan detail, tetapi ia mampu bercerita dengan menyentuh hati nurani pembaca. Tentang perjuangan wartawan mencari dan meliput berita, kekerasan yang diterima kelompok Gerakan Acheh, massa, dan masyarakat, serta nilai-nilai kehidupan: kasih sayang, kerja sama, peduli sosial, bersahabat, dan masih banyak lainnya.

Penembakan dan pembunuhan, peristiwa 3 Mei 1999 berhasil dituliskan berbasis data dan waktu. Diulas hingga 45 halaman banyak hal yang kudapat. Dari sudut pandang wartawan. Bagaimana meliput berita di Simpang Kraft bukanlah suatu tempat yang menyenangkan dan menghibur. Justru, wartawan yang ke sana sama halnya mencari mati.

Kerusuhan yang tidak bisa disibak membuat nyali naik turun. Butuh trik jitu suppaya selamat. sebagaimana keempat wartawan dari RCTI dan Azhari, wartawan dari media Analisa. Mundur dengan cepat, maju dengan tepat. Wartawan seperti masuk di kawasan pabrik sirup. Di jalan itu, sirup-sirup tumpah. Rasanya bukan seperti sirup marjan, sarang sari, kurnia, tjampolay, ABC, atau lainnya. Melainkan sirup manusia.

Wartawan Mas, membawa kebenaran dalam hal pemberitaan. Kalau salah mengeluarkan berita mereka berhadapan dengan masyarakat. Perihal kebenaran, aku mampu membaca dari keempat wartawan yang ditugasi dari stasiun televisi RCTI. Mereka adalah Imam, Fipin, Ali, dan Umar. Keempat wartawan itu adalah lelaki pemberani, tangguh, dan cerdas. Salah satu di antaranya, termasuk Imam pernah meliput kejadian kerusuhan di Timor-Timor. Kejadian di sana tidak kalah gila dengan di Simpang Kraft.

Mereka sempat bermasalah dengan masyarakat Mas. Hal itu terjadi karena masyarakat menganggap bahwa mereka telah mengeluarkan pemberitaan yang salah terkait jumlah korban di peristiwa itu. Dengan tegas dan tenang, Imam pun menjelaskan pada pria yang mengenakan taliban. Bahwa ia mendapati data secara langsung mendatangi rumah sakit yang dijadikan rujukan korban. 

Para wartawan mengambil data dengan hati-hati, begitu pula ketika menulis. Sampai-sampai Imam mengamali trauma akut. Ia mengaku sering diikuti oleh bayang-bayang korban peluru menyasar dan cerita tangis anak-anak kecil minta tolong. Ia ingat betul, saat menemukan korban anak kecil yang kakinya bolong, anak itu adalah bocah yang memberikan air minum kepadanya.

Tentang laki-laki yang protes di rumah sakit Cut Mutia tadio, Mas disebut-sebutlah teungku. Dalam bahasa Indonesia adalah guru mengaji, ahli agama, ustad. Beruntunglah, kesalahpaham itu segera usai. Wartawan selalu memegang erat kode etik jurnalis, kebenaran itu utama. Mengeluarkan berita bohong sama artinya mencari masalah. Kalau sudah begitu terimalah risikonya.

Perihal berita tersebut, adalah dari stasiun TVRI bukan RCTI. Keempat wartawan senior itu tidak mungkin melakukan kebohongan, Mas. Jika memang bermaksud demikian, untuk apa mereka berususah payah, berkorban terjun langsung ke lapangan melihat korban-korban penembakan; seorang anak yang telinganya bolong sebelah dan kepalanya pecah terisi air; laki-laki berlimpahan darah; masyarakat kehilangan anggota tubuhnya; seseorang anak kecil yang otaknya berhamburan di jalan; para perempuan yang mati terlindas militer dan merintih kesakitan karena terkena peluru menyasar; seorang gadis perempuan di sebuah rumah yang tertembak karena salah sasaran; melihat mayat berserakan di jalan dan rumah sakit  Cut Mutia; melihat dan merekam seseorang yang sakaratul maut, dan masih banyak lagi, Mas.

Ngeri, sungguh ngeri rasanya. Kejadian itu serupa peristiwa di Santa Cruz. Sebuah pemakaman orang kristen di Timor-Timor. Di sana Mas, juga terjadi rentetan tembakan dari militer Indonesia terhadap demonstran. Sudah pasti, banyak korban yang berjatuhan. Tentang peristiwa Santa Cruz aku membaca dari buku Seno Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, kumpulan cerpen Saksi Mata, dan trilogi novel fenomenal Jazz, Parfum, dan Insiden.

Kemudian, ada lagi pelajaran paradoks dan ironi yang kutemui. Bahwa di tengah kegilaan peristiwa Simpang Mawak ada sebuah fenomena ironi. Rini menuliskan seorang wartawan Imam bertemu dengan lelaki yang memakai celana berwarna putih. Celana itu penuh dengan darah. Tubuhnya yang kurus seakan tak kuat menopang badannya yang lemah. Lelaki itu memerosotkan diri di pinggir jalan. Tepatnya di sebuah pintu depan toko. Imam trenyuh melihat lelaki itu.

Imam mendekati, hendak menolong lelaki itu kemudian menggendongnya di mobil ambulans. Namun apa yang terjadi, Mas. Ternyata lelaki itu pura-pura. Warna merah di celananya bukanlah darah, entah apa, pewarna bisa saja kan. Gila. Sungguh gila lelaki itu.

Lebih gila lagi, begitu Imam hendak berteriak ada sekitar sepuluh orang lain berlarian mengikuti lelaki somplak itu. mereka bersengkongkol memperkeruh situasi. Ternyata, ada sebagian dari mereka melakukan aksi dengan melumuri badannya dengan darah para korban tembak. Begitu ada seseorang yang menolongnya, dengan sigap orang itu akan membunuh orang itu.

Gila. Mereka sinting, tidak waras. Di tengah rintihan orang dan mayat bertumpuk juga muncul sebuah keparadoksan lagi. Puluhan mayat ditumpuk di pinggir jalan. Di antara tumpukan itu ada seorang anak kecil dengan keadaan mengenaskan, berlumuran darah, tubuhnya tidak menyatu dan kepalanya pecah, Mas. Siapa yang tahu, tiba anak kecil itu didekati adalah bukanlah manusia. Akan tetapi, boneka yang didramatisasi seperti manusia. Sungguh, mungkin inilah kegilaan yang Rini maksudkan Mas.

Ahh, ngeri. Fenomena Orde Baru sungguh menyedihkan. Peristiwa di tanah air silih berganti. Semua beraroma kekerasan. Semoga tidak ada pertemuan di tahun itu, Mas. Aku tidak ingin.

Hufftt, mengulas  tulisan Chik Rini membuat kepalaku pusing. Aku teramat dalam masuk ke dalam tulisan itu. Hingga rasa mual pun menjalar. Tidak. Kuhentikan saja tentang kisah ini, Mas. Kalau Mas ingin membaca, bisa mencari buku langka itu di beberapa toko buku besar. di toko buku kecil jarang ada. Karena buku itu tidak diterbitkan lagi. Atau bisa membaca versi online. Ada seseorang yang mengetik ulang tulisan itu dan diposting di blognya.

Tentang buku itu, ada juga tulisan lain yang berkisah tentang Aceh. Adalah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, tulisan Alfian Hamzah. Judul itu juga termasuk dari rekomendasi dari temanku, Hamimi. Semoga, tulisan Alfian tidak semengerikan dan gila dari Rini. Sekilas sih aku membaca tipis-tipis. Semogalah lebih santai dan tidak menguras pikiran dan emosi.

Eeh, Mas, kusudahi dulu ya suratku kali ini. Kembali, pikiranku terasa terkuras seperti habis bekerja. Rasanya tubuhku ikut sakit begitu menyeritakan peristiwa Simpang Karft. Kali lain, aku akan bercerita tentang keseharianku dalam tulisan santai ini. Maaf, jika tulisanku berpengaruh terhadapmu. Sehat selalu terkasih. Jangan lupa bahagia ya!

Salam dari seseorang yang mencintamu dari jauh!

Suci Ayu Latifah

24.04.2020 23:41WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun