Mereka sempat bermasalah dengan masyarakat Mas. Hal itu terjadi karena masyarakat menganggap bahwa mereka telah mengeluarkan pemberitaan yang salah terkait jumlah korban di peristiwa itu. Dengan tegas dan tenang, Imam pun menjelaskan pada pria yang mengenakan taliban. Bahwa ia mendapati data secara langsung mendatangi rumah sakit yang dijadikan rujukan korban.Â
Para wartawan mengambil data dengan hati-hati, begitu pula ketika menulis. Sampai-sampai Imam mengamali trauma akut. Ia mengaku sering diikuti oleh bayang-bayang korban peluru menyasar dan cerita tangis anak-anak kecil minta tolong. Ia ingat betul, saat menemukan korban anak kecil yang kakinya bolong, anak itu adalah bocah yang memberikan air minum kepadanya.
Tentang laki-laki yang protes di rumah sakit Cut Mutia tadio, Mas disebut-sebutlah teungku. Dalam bahasa Indonesia adalah guru mengaji, ahli agama, ustad. Beruntunglah, kesalahpaham itu segera usai. Wartawan selalu memegang erat kode etik jurnalis, kebenaran itu utama. Mengeluarkan berita bohong sama artinya mencari masalah. Kalau sudah begitu terimalah risikonya.
Perihal berita tersebut, adalah dari stasiun TVRI bukan RCTI. Keempat wartawan senior itu tidak mungkin melakukan kebohongan, Mas. Jika memang bermaksud demikian, untuk apa mereka berususah payah, berkorban terjun langsung ke lapangan melihat korban-korban penembakan; seorang anak yang telinganya bolong sebelah dan kepalanya pecah terisi air; laki-laki berlimpahan darah; masyarakat kehilangan anggota tubuhnya; seseorang anak kecil yang otaknya berhamburan di jalan; para perempuan yang mati terlindas militer dan merintih kesakitan karena terkena peluru menyasar; seorang gadis perempuan di sebuah rumah yang tertembak karena salah sasaran; melihat mayat berserakan di jalan dan rumah sakit  Cut Mutia; melihat dan merekam seseorang yang sakaratul maut, dan masih banyak lagi, Mas.
Ngeri, sungguh ngeri rasanya. Kejadian itu serupa peristiwa di Santa Cruz. Sebuah pemakaman orang kristen di Timor-Timor. Di sana Mas, juga terjadi rentetan tembakan dari militer Indonesia terhadap demonstran. Sudah pasti, banyak korban yang berjatuhan. Tentang peristiwa Santa Cruz aku membaca dari buku Seno Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, kumpulan cerpen Saksi Mata, dan trilogi novel fenomenal Jazz, Parfum, dan Insiden.
Kemudian, ada lagi pelajaran paradoks dan ironi yang kutemui. Bahwa di tengah kegilaan peristiwa Simpang Mawak ada sebuah fenomena ironi. Rini menuliskan seorang wartawan Imam bertemu dengan lelaki yang memakai celana berwarna putih. Celana itu penuh dengan darah. Tubuhnya yang kurus seakan tak kuat menopang badannya yang lemah. Lelaki itu memerosotkan diri di pinggir jalan. Tepatnya di sebuah pintu depan toko. Imam trenyuh melihat lelaki itu.
Imam mendekati, hendak menolong lelaki itu kemudian menggendongnya di mobil ambulans. Namun apa yang terjadi, Mas. Ternyata lelaki itu pura-pura. Warna merah di celananya bukanlah darah, entah apa, pewarna bisa saja kan. Gila. Sungguh gila lelaki itu.
Lebih gila lagi, begitu Imam hendak berteriak ada sekitar sepuluh orang lain berlarian mengikuti lelaki somplak itu. mereka bersengkongkol memperkeruh situasi. Ternyata, ada sebagian dari mereka melakukan aksi dengan melumuri badannya dengan darah para korban tembak. Begitu ada seseorang yang menolongnya, dengan sigap orang itu akan membunuh orang itu.
Gila. Mereka sinting, tidak waras. Di tengah rintihan orang dan mayat bertumpuk juga muncul sebuah keparadoksan lagi. Puluhan mayat ditumpuk di pinggir jalan. Di antara tumpukan itu ada seorang anak kecil dengan keadaan mengenaskan, berlumuran darah, tubuhnya tidak menyatu dan kepalanya pecah, Mas. Siapa yang tahu, tiba anak kecil itu didekati adalah bukanlah manusia. Akan tetapi, boneka yang didramatisasi seperti manusia. Sungguh, mungkin inilah kegilaan yang Rini maksudkan Mas.
Ahh, ngeri. Fenomena Orde Baru sungguh menyedihkan. Peristiwa di tanah air silih berganti. Semua beraroma kekerasan. Semoga tidak ada pertemuan di tahun itu, Mas. Aku tidak ingin.
Hufftt, mengulas  tulisan Chik Rini membuat kepalaku pusing. Aku teramat dalam masuk ke dalam tulisan itu. Hingga rasa mual pun menjalar. Tidak. Kuhentikan saja tentang kisah ini, Mas. Kalau Mas ingin membaca, bisa mencari buku langka itu di beberapa toko buku besar. di toko buku kecil jarang ada. Karena buku itu tidak diterbitkan lagi. Atau bisa membaca versi online. Ada seseorang yang mengetik ulang tulisan itu dan diposting di blognya.