Penyair, bisa kubilang dia penyair muda. Ya suka membaca dan menulis puisi. Sering ikut kajian puisi pula. Setelah pertemuan itu, kutemukan hobi penggila pada lawan jenis. Kalau Seno punya Alina, dia punya Sri, dan aku punya kamu, Mas. Kami hobi mengirim surat kepada sosok idola. Sosok yang tidak kami kenali. Sosok itu teramat abstrak, sehingga kami bisa berimajinasi liar tentang sosok itu. Kami sering berpuisi dengan liris yang manis. Kami memberi nyawa di setiap kata. Sebuah kata yang mengantarkan kami pada ruang yang tidak ada ujungnya. Kami suka bermain-main di sana.
Ehh, kok aku jadi bercerita tentang hobi gila ini Mas. Maaf, kembali pada buku saja ya. Sebelumnya, aku hendak mengabarkan kalau penelitianku sudah selesai. Kira-kira ada sekitar 400-an halaman. Alhamdulillah, aku amanah.
Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Di dalam buku itu ada delapan judul tulisan, sekaligus delapan penulis dari beberapa wartawan di Indonesia. Ada Chik Rini, Agus Sopian, Linda Christanty, Coen Husain Pontoh, Alfian Hamzah, Eriyanto, Budi Setiyono, dan Andreas Harsono.
Mas tahu, mereka orang-orang hebat di pada bidangnya. Sebagaimana pekerjaannya mencari, memburu, meliput, dan mengabarkan sesuatu pada khalayak umum. Aku baru ngeh kehidupan wartawan dari buku ini. Tantangannya adalah masyarakat. Kalau wartawan memberitakan sesuatu yang kurang tepat atau sampai menyinggung seseorang, hmm tamatlah riwayatnya. Mereka bisa dicabut dari profesinya atau nyawanya menjadi buronan.
Chik Rini adalah dua dari wartawan berjenis perempuan di buku itu. Dia seorang wartawan harian Analisa, Medan. Dalam buku setebal 362 halaman, Â ia menuliskan tentang peritiwa Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976-2005. Ia memotret pada peristiwa di Simpang Karaft. Chik Rini memotret Aceh dari para saksi mata di kejadian itu. Ia mewawancarai sesepuh lingkungan, masyarakat, anak-anak, juga beberapa orang yang dia temui.
Ketertarikan Rini untuk menguak tentang Aceh, bermula dari naskah Hirosima karya John Hersey. Kemudian, dia berpikir keras isu apa yang dapat dituangkan ke dalam karya yang serupa. Terpikirlah, untuk menggali sebuah pembunuhan tragis, sadis, dan miris di Aceh. Tepatnya di sebuah Simpang Kraft atau dikenal dengan Simpang KKA. Kalau dicari di internet yang muncul penyebutan terakhir.
Peristiwa Simpang Kraft itu, diberilah judul Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Mengapa kegilaan? Di situ aku menyimpulkan karena banyak fenomena sosial yang paradoks, ironi, dan beraroma kekerasan yang amat sangat memilukan.
Aku terhanyut, menyukai caranya bercerita. Bahasanya yang sederhana, lugas, komunikatif, dan deskriptif berhasil membuat telaga jebol. Bukan karena kejadian itu diceritakan dengan detail, tetapi ia mampu bercerita dengan menyentuh hati nurani pembaca. Tentang perjuangan wartawan mencari dan meliput berita, kekerasan yang diterima kelompok Gerakan Acheh, massa, dan masyarakat, serta nilai-nilai kehidupan: kasih sayang, kerja sama, peduli sosial, bersahabat, dan masih banyak lainnya.
Penembakan dan pembunuhan, peristiwa 3 Mei 1999 berhasil dituliskan berbasis data dan waktu. Diulas hingga 45 halaman banyak hal yang kudapat. Dari sudut pandang wartawan. Bagaimana meliput berita di Simpang Kraft bukanlah suatu tempat yang menyenangkan dan menghibur. Justru, wartawan yang ke sana sama halnya mencari mati.
Kerusuhan yang tidak bisa disibak membuat nyali naik turun. Butuh trik jitu suppaya selamat. sebagaimana keempat wartawan dari RCTI dan Azhari, wartawan dari media Analisa. Mundur dengan cepat, maju dengan tepat. Wartawan seperti masuk di kawasan pabrik sirup. Di jalan itu, sirup-sirup tumpah. Rasanya bukan seperti sirup marjan, sarang sari, kurnia, tjampolay, ABC, atau lainnya. Melainkan sirup manusia.
Wartawan Mas, membawa kebenaran dalam hal pemberitaan. Kalau salah mengeluarkan berita mereka berhadapan dengan masyarakat. Perihal kebenaran, aku mampu membaca dari keempat wartawan yang ditugasi dari stasiun televisi RCTI. Mereka adalah Imam, Fipin, Ali, dan Umar. Keempat wartawan itu adalah lelaki pemberani, tangguh, dan cerdas. Salah satu di antaranya, termasuk Imam pernah meliput kejadian kerusuhan di Timor-Timor. Kejadian di sana tidak kalah gila dengan di Simpang Kraft.