Dunia pendidikan baru saja merayakan kemenangan usai mendapat medali di ajang Kompetensi Sains Madrasah (KSM) 2019. Jawa Timur menjadi juara umum dengan memborong 19 medali. Sementara Banten mampu memborong 13 medali. Jawa Tengah tak mau kalah juga memborong 15 medali. Tentunya, kabar bahagia ini dapat kita rasakan bersama. Satu per satu prestasi pelajar turut menambah daftar sumber daya manusia guna menyosong pembangunan nasional.
Sayangnya, euforia ini begitu cepat teralihkan. Dunia pendidikan hadir memberikan kejutan duka yang miris untuk disimak. Selepas guru Budi di tahun 2018, guru pendidikan agama di Manado turut mewarnai daftar nasib guru malang.
Semua berawal dari korban Alexander Pangkey (54) menegur siswanya karena merokok di lingkungan sekolah. Diduga karena tidak terima, tersangka menikam korban menggunakan pisau hingga akhirnya tewas.
Miris. Tindak krusial pelajar kepada guru seperti kasus di atas merupakan salah satu kegagalan penanaman karakter di dunia pendidikan. Secara teori pendidikan karakter diyakini mampu mengatasi serba-serbi persoalan pendidikan di Indonesia. Naasnya, dalam praktik justru pendidikan karakter ini seringkali menjadi bias.
Karakter hakikatnya lekat dengan sopan santun dan tata krama. Mutakhir, keduanya dirasa begitu abai. Berbeda dengan tempo dulu. Sopan santun dan tata krama menjadi ketaatan yang dilakukan siapapun, termasuk pelajar di sekolah. Tempo dulu, salah satu penerapan tata krama di sekolah tergambar pelajar tidak sampai hati berani jalan di depan guru. Pelajar pula, tidak sekalipun berani membantah guru. Berbeda dengan sekarang, keberanian pelajar terhadap segala hal lebih dominan. Termasuk berani membantah, bahkan sampai khilaf tangan melayang.
Betapa guru seringkali disalahpahami pelajar. Guru pula, seringkali tidak dihargai pelajar dengan berbagai bentuk. Mestinya, penting dipahami tugas seorang guru tidak sekadar masuk kelas, kemudian mengajar dan memberikan tugas. Lebih dari itu. Guru memiliki kewajiban untuk membimbing juga mengarahkan anak didiknya. Seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Guru menghukum misalnya, bukan berarti guru tidak menyayangi anak didiknya. Namun, lebih dari itu. Jiwa mengarahkan dan membimbing guru terbangun karena melihat atau mengetahui anak didiknya berlaku tidak baik---tidak sesuai dengan norma. Tentu saja, guru sesuai ikrarnya akan hadir untuk membenarnya akan apa yang dilakukan anak didiknya. Sebab, guru akan lebih senang dan merasa berhasil ketika mampu mengantarkan anak-anak didiknya sesuai apa yang diinginkan.
Sekilas, mari kita menengok bagaimana pendidikan tempo dulu. Guru menegur adalah hal biasa. Bahkan, guru memukul menggunakan penggaris plastik 30 cm, itupun wajar. Di dunia mutakhir --serba digital, pendidikan tempo dulu kadang perlu hadir sebagai penuntas kerusakan mental pelajar. Pasalnya sekali lagi, guru tidak sekadar menyelesaikan buku ajar. Pun, tidak selesai mengajar di depan kelas. Justru yang berat adalah mengubah karakter atau kepribadian pelajar supaya nantikan menjadi teladan.
Guru pula pantas memukul ketika anak didiknya melakukan kesalahan. Misal yang sering terjadi adalah anak mengambil barang temannya tanpa meminta izin, disebutlah mencuri. Pantaslah seorang guru menegur dan memberikan hukuman. Karenanya, apabila dibiarkan saja tanpa ada tekanan, mencuri bisa menjadi perilaku biasa karena menjadi kebiasaan.
Serba-serbi sikap pelajar tidak mencerminkan pendidikan karakter penting dijadikan pembahasan mutakhir. Bukan karena apa, jikalau karakter di awal sudah salah, tak mungkiri dunia akan mencipta generasi salah. Begitupula sebaliknya. Karena itulah, penguatan pendidikan karakter khususnya di lingkungan sekolah penting dioptimalkan.
Hemat saya, penanaman karakter dapat dimasukkan di setiap mata pelajaran. Di sinilah tugas guru mengarahkan dan membimbing. Tidak semerta-merta pelajaran disuguhkan begitu saja. Tugas guru memberikan nilai dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari materi yang disampaikan. Lebih dari itu, ilmu dapat diterapkan di lingkungan sosial.
Selain itu, pendidikan karakter butuh keteladanan. Semua elemen, khususnya guru memiliki tujuan penuh menjadi sosok yang tidak saja wibawa tapi juga kharisma. Guru mampu menaruh perhatian terhadap sikap atau tingkah laku pelajar, selain mengutamakan ketersampaian pengetahuan semata.
Dengan demikian, dalam kubangan pendidikan mutakhir, paradigma pendidikan tempo dulu masih relevan digalakkan. Sebab, puncak dari pendidikan adalah bukan melahirkan pelajar yang intelek saja, namun memiliki akhlak baik. Karenanya, kejutan duka dunia pendidikan seperti kasus di atas, bolehlah paradigma pendidikan tempo dulu digelar ulang.
Tim Penggerak Sekolah Literasi Gratis Ponorogo. Aktif menulis di berbagai media cetak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H