Meja makan bagi keluarga saya tak hanya dimanfaatkan untuk sekadar kumpul makan bersama. Melainkan, menjadi tempat diskusi dan cerita hingga menghabiskan waktu berjam-jam. Kami diskusi dan cerita apapun. Mulai dari kehidupan sosial, fenomena hukum, riak politik, hingga adat dan budaya.Â
Siang ini, seperti biasa, selalu ada pembahasan yang asyik untuk didiskusikan, dipecahkan, dan diberikan solusi. Bapak kultural telah berkata kepada empat anak: 1 anak kandung dan 3 lainnya anak asuh, termasuk saya. Beliau berkata, "Sekecil apapun, laki-laki itu maunya diperhatikan--laki-laki memiliki sifat sangat pencemburu."
Demikian itulah salah satu diskusi yang dibahas. Kata Bapak, laki-laki segagah apapun memiliki sifat yang namanya pencemburu. Laki-laki itu pula, senantiasa maunya diperhatikan. Mulai dari hal yang sangat biasa hingga luar biasa.Â
Misalnya, perihal kebutuhannya. Maunya, bagi laki-laki, wanita ikut andil sekadar bertanya, contohnya ingin dimasakkan apa, ingin memakai baju apa, ingin dibuatkan teh atau kopi, ingin mandi air hangat atau tidak, ingin dipijat atau tidak, dan ingin-ingin lainnya.
Sederhana, terkadang bentuk perhatian demikian itu akan menjadi obat atas kekesalan terhadap orang lain, kecepekan terhadap pekerjaan, atau bahkan kerumitan terhadap urusan luar.Â
Namun, ada pula terkadang lelaki yang risih begitu wanita bertanya demikian, ada yang berujar rewetlah, gag peka-pekalah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, wahai laki-laki jangan salah meski sudah bertahun-tahun hidup bersama. Itulah tipikal wanita, selalu dan senantiasa membuka dengan pertanyaan yang memang dirasa kadang-kadang tidak penting. Demikianlah, wanita itu. Bukan perkara cerewet atau tidak peka, tapi usaha untuk memperhatikan.
Oh ternyata,
Diam-diam, ternyata lelaki itu pencemburu yang hebat. Saya kira, yang memiliki sifat pencemburu itu wanita saja. Ternyata, lelaki lebih di atas wanita untuk tingkat cemburunya.Â
Sekilas saya teringat tetangga saya yang sudah dua tahun menikah. Suatu waktu, saya berkunjung di rumahnya. Sebutlah Desa X. Sampailah di sana saya dijamu beberapa makanan ringan, seperti kripik singkong dan gethuk (kue basah berbahan dasar ketela pohon, yang dikukus, dihancurkan, lalu dicampur dengan air gula jawa).Â
Belum lama, kami mengobrol, teman saya, mendapat panggilan telepon dari seorang laki-laki. Mereka ngobrol cukup lama, mungkin kisaran 7-10 menit. Apa yang dibicarakan? Sebentar dulu.
Karena asyik dengan obrolan, sampai hati ia tak mendengar kalau bayinya menangis. Beruntunglah, suaminya dengan cekatan menggendong bayi itu penuh hangat. Akhirnya, berhentilah tangisan bayi berumur 13 bulan ini.
Telepon ditutup. Celetuk, sang suami bertanya, siapa yang barusan telepon dan untuk apa. Memahami dan memaknai dua pertanyaan tersebut, secara dewasa, itulah bukti laki-laki memiliki sifat cemburu. Bukan tanpa alasan, asumsi ini beranggapan istri karena terlalu asyik bercakap-cakap hingga tak sadar bayinya telah menangis.
Cemburu. Ya Cemburu. Saya rasa semua orang memiliki sifat cinta ini. Mengapa saya katakan sifat cinta? Karena saya telah mendapat pelajaran cinta yang menarik dari seorang guru kehidupan. Bahwasannya bukti tanda cinta itu ada delapan, di antaranya perhatian, kepedulian, kerelaan, pengorbanan, nafsu (hasrat), rasa memiliki, takut kehilangan, dan cemburu.
Perhatikan, cemburu berada di tingkat tertinggi tanda cinta. Dari sini, kita dapat memahami seseorang yang benar-benar mencintai dan menyayangi kita, tentunya pernah cemburu. Jika belum pernah cemburu, ehmm perlu dipertanyakan kecintaannya. Hehehe.
Saya rasa kehidupan itu rumit, serumit-rumitnya. Karena itulah, memahami satu sama lain penting dilakukan pasangan. Tersebab, tidak memungkiri, siapapun yang telah menerima seseorang terlebih untuk menjadi pasangan hidupnya, sudah berarti seseorang itu siap menerima segala bentuk dan macam kerumitan yang ada dalam diri pasangan.Â
Begitulah sebaliknya. Untuk itu, saya rasa indahnya memahami dan mengerti sesama supaya tidak menimbulkan gelombang yang tak berhaluan dalam mengarungi kehidupan.Â
Kesalahpahaman itu penyakit yang bisa berakibat banyak kemungkinan. Karenanya, mari sama-sama kita hindari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H