Minggu-minggu ini, saya mencoba belajar melepas seseorang yang sempat menghantui pikiran? Ya, saya merasa teramat sulit. Terlebih ketika seserang yang ingin saya lepas, secara mendadak hadir dengan wujud yang berbeda-beda. Sebutlah, kejadian yang tak bisa saya hindari.Â
Suatu sore, seperti biasanya, saya melakukan kegiatan rutinitas menyapu halaman rumah. Halaman rumah yang dekat dengan jalan raya ini sering kali diliwati oleh orang-orang. Tidak saja mereka yang berangkat atau pulang dari kantornya, anak sekolah,pejalan kaki, penjual sayuran, dan masih banyak lagi.Â
Entah di menit ke berapa, ketika mata mendadak diganggu oleh suara bising motor, mata jauh memandang, dan secara tak sengaja muncullah dari pertigaan jalan seseorang berjaket hitam.Â
Seseorang itu mengendarai motor beat warna hitam. Di belakangnya ada seorang anak sekolah menengah pertama. Anak itu adalah tetangga perumahan.Â
Sungguh inilah, kejadian yang tak bisa aku hindari. Betapa sakit melihat seseorang yang hampir sama dengan seseorang yang hendak saya lepas. Entah itu sama pada fisik, kebiasaan, pekerjaan, dan entah apa lagi. Saya menghela napas panjang. Segara mengembalikan suasana hati dan pikiran lebih tenang, rileks, dan santai.Â
Tak dapat dibohongi memang, teramat sulit melepas seseorang yang sekadar mampir minum, yang tanpa sadar meninggalkan setetes air. Mungkin kalian bertanya, mengapa saya melepas seseorang itu? Apakah ia telah membuat saya sakit? Apakah ia telah membuat saya merasa rugi? Apakah ia telah berkhiatant? Atau, apakah ia telah ...
Untuk kalian, kiranya tak perlu memikirkan persoalan itu, setidaknya semua jawaban benarnya ada dalam hati saya. Saya akan memberitahu? Tidak. Rasanya tidak penting juga, toh jika pun ia, justru akan membuat saya lebih sakit untuk melepasnya.Â
Melepas, seperti burung saja. "Berarti ia pernah masuk?" Ya, pernah masuk.Â
"Siapa yang memasukkan?"
 Jangan banyak bertanya, saya sudah berusaha memprogram pikiran melepas tentang seseorang itu. Kalau kalian terus bertanya, kapan saya akan memulai program ini.
"Emangnya, kamu bisa?"
Kembali saya harus menghela napas berat. "Bagaimanapun harus bisa," jawabku sembari menamparmu keras.Â
Sudah kubilang jangan bertanya, tapi tetap saja. Kau ini ingin tahu saja. Ya aku tahu, aku sedang melakukan adegan kebohongan dalam cerita hidup. Tapi, tolonglah. Hadirlah sebagii tokoh pembantu yang baik. Tokoh yang dengan santun membantu merahasikaan tentang saya, dan kreatif memberikan ramuan untuk melepaskannya.
Tidur. Barangkali, inilah ramuan yang bisa sekejap melepas ingatkan tentang seseorang itu. Â
"Bagaimana ketika kau terbangun?"
 Inilah pertanyaan yang sulit untuk  saya jawab. Tapi, paling tidak kau tahukan apa kesukaanku--Karaokean dan menulis. Aku berkaraoke untuk menghibur diri. Dan, aku menulis untuk melepaskan semua rasa, pikiran diri.
"Hasilnya?" Ya, sekarang saya lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Namun, saya saya sadar, melupa yang seharusnya tak perlu dilupa, membencii yang seharusnya tak dibenci adalah hal yang menyiksa. Tapi, diri harus tegas.
Terapi menulis yang saya lakukan adalah menuliskan hal-hal buruk tentangnya--sebanyak-banyaknya sampai mentok tidak ada lagi. Sampai bundel bingung untuk dituliskan. Draf tentang keburukannya telah saya buat, dengan tulisan berkapital dan tinta merah darah. Usai itu, catatan itu saya remas-remas seperti mencuci baju. Saya injak-injak sampai ia tak berbentuk, dan berakhir saya bakar.
Dari api yang menyala itu, saya merasakan panas luar biasa. Seperti rasa panas dalam diri begitu seseorang itu ...
Saatnya melepas. Hanya doa yang dapat saya panjatkan padanya tatkala teringat. Kebaikan, kemudahan, kelancaraan semoga menyertainya. Kehati-hatian semoga senantiasa terpatri dalam hidupnya. Semoga!
"Kau sekuat itukah?" kembali kau bertanya pada saya.
Singkat saya menjawab, "Rasanya, kau lebih tahu daripada saya harus menjawab."
Senyum merekah pada hati. Sejenak, memejam mata, saya mengingat pada harapan besar di depan--saya harus bisa, bisa berubah, bisa mengontrol diri, dan lebihnya bisa menjadi diri sendiri, serta bisa yang tak bisa.
Selamat berjuang, ada ada hal yang telah menunggu saya. Ada hal pula yang menginginkan apapun dari saya, utamanya keberhasilan hidup!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H