Kembali saya harus menghela napas berat. "Bagaimanapun harus bisa," jawabku sembari menamparmu keras.Â
Sudah kubilang jangan bertanya, tapi tetap saja. Kau ini ingin tahu saja. Ya aku tahu, aku sedang melakukan adegan kebohongan dalam cerita hidup. Tapi, tolonglah. Hadirlah sebagii tokoh pembantu yang baik. Tokoh yang dengan santun membantu merahasikaan tentang saya, dan kreatif memberikan ramuan untuk melepaskannya.
Tidur. Barangkali, inilah ramuan yang bisa sekejap melepas ingatkan tentang seseorang itu. Â
"Bagaimana ketika kau terbangun?"
 Inilah pertanyaan yang sulit untuk  saya jawab. Tapi, paling tidak kau tahukan apa kesukaanku--Karaokean dan menulis. Aku berkaraoke untuk menghibur diri. Dan, aku menulis untuk melepaskan semua rasa, pikiran diri.
"Hasilnya?" Ya, sekarang saya lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Namun, saya saya sadar, melupa yang seharusnya tak perlu dilupa, membencii yang seharusnya tak dibenci adalah hal yang menyiksa. Tapi, diri harus tegas.
Terapi menulis yang saya lakukan adalah menuliskan hal-hal buruk tentangnya--sebanyak-banyaknya sampai mentok tidak ada lagi. Sampai bundel bingung untuk dituliskan. Draf tentang keburukannya telah saya buat, dengan tulisan berkapital dan tinta merah darah. Usai itu, catatan itu saya remas-remas seperti mencuci baju. Saya injak-injak sampai ia tak berbentuk, dan berakhir saya bakar.
Dari api yang menyala itu, saya merasakan panas luar biasa. Seperti rasa panas dalam diri begitu seseorang itu ...
Saatnya melepas. Hanya doa yang dapat saya panjatkan padanya tatkala teringat. Kebaikan, kemudahan, kelancaraan semoga menyertainya. Kehati-hatian semoga senantiasa terpatri dalam hidupnya. Semoga!
"Kau sekuat itukah?" kembali kau bertanya pada saya.
Singkat saya menjawab, "Rasanya, kau lebih tahu daripada saya harus menjawab."