"Bentuk apresiasi kampus terhadap mahasiswa khususnya yang mau menulis di media dan terbit akan mendapat honor dari kampus. Mulai dari lima ratus-lima puluh ribu per karya termuat," ungkapnya.
Dan yang perlu dipahami, salah satu tujuan adanya SLG ini memang untuk melahirkan generasi penulis, sebagaimana visi dan misi berdirinya SLG. "Semoga ini menjadi satu dari seribu bagian gebrakan di Indonesia," harapnya.Â
Cara Menembus Media
Umur Sekolah literasi Gratis (SLG) dikatakan relatif muda. Meski pun demikian, SLG kini sudah mampu berbicara di publik. Hal ini dibuktikan, sudah sekitar 16 mahasiswa sudah sering nongol di media, entah itu media lokal ataupun nasional.
"Tulisan pertama saya yang termuat media adalah opini, dengan judul Kopi Pahit di Tahun Ayam Api," kata Sri Wahyuni, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015.
Sri pun bercerita, sempat gagal hingga ... kali. Kemudian, oleh guru literasinya, Sutejo, diberikan tips agar dimuat di media. Salah satu caranya adalah aktual. Maksudnya, opini yang ditulis adalah suatu topik pembahasan yang sedang ramai dibicarakan di media "Waktu itu, Indonesia tengah dilanda kenaikan harga cabai hingga ratusan rupiah. Dari itulah kemudian saya menulis opini tersebut," tambahnya.
Berbeda dengan Agus Setiawan, alumnus yang aktif menulis di media. Jika Sri berangkat pembahasan dari hal yang ramai dibicarakan, bagi Agus, ia berangkat dari hari besar Nasional. Misalnya tanggal 21 April, sebagai peringatan hari Kartini, ia akan menulis tentang Kartini. Contohnya, Adakah, Kartini Kedua?; Kabar Kartini Indonesia?; Wanita-Wanita Pilihan; dan lainnya.
Selain aktualitas, Sutejo juga menyarankan agar membuat judul yang unik dan menarik. Karennaya, redaksi ketikamembaca tulisan seseorang, yang dibaca dulu adalah judul. Jika judu lyang dibuat ada daya lain, maka redaktiur pun akan mempertimbangkan pemuatan karya, tanpa melupakan isi dari opini bersangkutan.
Cara selanjutnya, adalah mengenali karakter tulisan. Setiap media memiliki ciri khas tulisan, yang belum pasti dimiliki media lainnya. Artinya, media memiliki gaya (style) sendiri-sendiri. Cara pengenalan tersebut dapat dilakukan dengan jalan aktif membaca tulisan-tulisan yang termuat. Kemudian, kita dapat menyimpulkan sendiri terkait kemenonjolan media tersebut. Misal media dengan tulisan berbau islami.
"Ingat pepatah, Jika tak kenal maka tak sayang!" pungkas Sutejo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H