Hawa musim pemilu sudah mula membara. Indonesia dihadapkan pada persaingan yang berdeklarasi damai sesuai kesepakatan calon candidat. 50 persen dari total warga negara, golongan milenial memiliki hak pilih penuh. Milenial dijadikan "ladang rebutan" pilpres dan pileg karena dipercaya sebagai kemenangan.
Di balik riuhnya babak pemilu, muncullah kelompok-kelompok dengan motif tertentu. Salah satunya kelompok radikal. Munculnya radikalisme sangat meresahkan, khususnya bagi generasi milenial. Kaum radikal diduga berpotensi memecah belah antarsesama. Meraka  mencuci pikiran milenial, yaitu generasi tidak suka di indoktrinasi--lebih suka komunikasi dua arah seperti dialog dan diskusi. Hal inilah strategi ampuh kaum radikal.
Pernyataan itu, pernah diungkapkan pada artikel tahun 2016 berjudul Millennials: Burden, Blessing or Both? Karya Joanna Barsh, yang mengatakan bahwa menghadapi generasi, seorang pemimpin harus mau mendengar dengan mendorong dialog dua arah antargenerasi. Sebagaimana yang ditulis Hasanudin Ali dan Uuk Purwadi dalam buku Milenial Nusantara, ciri utama generasi milenial adalah ketersambungan komunikasi.
 Sejatinya,  radikalisme adalah satu tahapan atau satu langkah sebelum terorisme. Pada umumnya, para teroris yang banyak melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, terutama soal keagamaan. Hal itu karena  perbedaan diantara keduanya sangat tipis, dalam istilah Rizal Sukma (2004), "Radicalism is only one step short of terrorism."
Ahmad Syafii Maarif mengidentifikasi, radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara pengungkapan keberagamaan seseorang, sedangkan terorisme secara jelas mencakup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik.Â
Radikalisme lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme adalah fenomena global yang memerlukan tindakan global juga. Namun radikalisme kadang kala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak semuanya dan selamanya begitu (Islam and the Challenge of Managing Globalisation, 2002).
Semenjak munculnya kaum radikal, rasa nyaman dan aman menjadi terganggu. Diskusi dan pendampingan tentang radikal penting diterapkan serius dan  terus menurus. Pendekatan ini, berlatar belakang teroris yang memiliki jam terbang tinggi berkeinginnan membangun sel-sel dengan merekrut masyarakat. Kendati itu, perlu komunitas generasi muda rutin melakukan kampanye kontradikalisme.
Radikalime di perguruan tinggi
Sudah merakyat, radikalisme seperti penyakit---menular. Generasi muda yang berada di dunia pendidikan membuat jaringan-jaringan sebagai anak pinak radikalisme.Â
Jaringan semacam itu nantinya dengan mudah berkembang biak apabila perguruan tinggi yang bersangkutan tidak mengontrol kegiatan yang dilakukan mahasiswa dan rendahnya pendekatan antara mahasiswa dengan dosen. Sehingga dalam hal ini peran penting perguruan tinggi terhadap badai radikal dibutuhkan.
Menurut Muhammad Najib Azca dalam  bukunya Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru (2012), setidaknya ada 3 faktor yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena radikalisme di kalangan kaum muda. Pertama, dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang membuka struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang baru di tengah tingginya gejolak dan ketidakpastian.Â
Kedua, transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki geneologi pada awal kemerdekaan. Ketiga, tingginya angka pengangguran di kalangan kaum muda di Indonesia. Ketiga faktor itulah yang berjalan berkelindan bersama faktor lain sehingga menyebakan radikalisme mendapat tempat yang subur di kalangan generasi muda.
Sederhananya, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan di perguruan tinggi dapat dilakukan bagaimana dosen mau bergaul, mau bertukar pikiran, dan terpenting mengetahui kegiatan siswa. Dengan begitu, dapat mengurangi penyebaran radikali yang berpotensi memecah kebinekaan. Dengan begitu, generasi muda di Indonesia diharapkan menjadi kritis, cerdas, mencerahkan, dan memiliki komitmen yang tinngi bagi masa depan, bangsa,dan negara.
Suci Ayu Latifah
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI PONOROGO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H