Sepiring pisang goreng terhidang bersama dua cangkir kopi hitam. Cangkir dengan gambar bunga mawar itu beralas lepek bening. Katmiati bersama suaminya, Wanto menikmati sajian sore sembari menikmati sisa hujan.
Selepas dari sawah, mereka duduk-duduk di linjak samping rumah. Di depannya ada kolam bebek. Ada sekitar tiga sampai lima bebek berenang di sana. Mereka mengibas-ibaskan sayap yang tak putih karena lumpur. Sesekali mereka saling berpelukan dengan bebek lain. Ya, bebek-bebek usia tiga bulan itu sedang menikmati jejarum hujan yang bisu.
Dari pintu samping rumah, terlihat anak lelaki Katmiati dan Wanto keluar. Dewo namanya. Wajahnya bulat telur, kulit sawoo matang, matanya sitip, ada tahi lalat di kening. Ia membawa selembar kertas yang digambari dan diwarnai sebuah rumah.
Gambarannya termasuk bagus di kalangan anak lima tahunan. Rumah dengan halaman luas berumput hijau segar. Ada rumah kecil terpisah. Katanya, itu rumah bebek. Ia ingin membuat rumah bebek supaya bebek-bebeknya tidak kehujanan---tidak sakit. Sehingga dapat berkembang baikKata orang pintar, Dewo kelak akan menjadi orang yang luar biasa.
Dipangkunya Dewo oleh Katmiati. Ia merangkul anaknya dengan cinta. Sementara, Wanto bergaya seorang guru---menilai gambaran anaknya.
Menikmati sisa hujan sore itu, ketiga lakon manusia itu menghabiskan sore dengan bercengkerama. Ada geliak tawa dan canda mewarnai. Seakan energi bahagia itu tersalurpada bebek-bebeknya. Sekilas Katmiati jadi teringat tentang seseorang yang pernah ditemui saat perjalanan menuju pasar. Disebutnya orang pintar karena lelaki berwajah kusut, mata sayu, dan bibir hitam itu mencoba membaca masa depan Dewo.
"Anakmu itu, esok akan menjadi bos," kata orang pintar empat tahun lalu.
Tak hanya itu. Tuturnya, kelak saat Dewo besar dan dewasa, wajahnya akan memancarkan jiwa kharismatik. Banyak wanita yang bakalan kepincut dengan ketampanannya. Wanita-wanita itu ingin menjadikannya pendamping, karena kesuksesannya dalam bekerja.
"Le, ati-ati yo. Ojo sampek tiba nang jurang kang jeru. Ojo ngeleno marang panggonan penak. Eleng marang sadulur-sadulure."
Bisik orang pintar itu di telinga kanan Dewo. Mendengar itu, Dewa merem-melek. Ia belum bisa bicara. Hanya bahasa sorot matanya yang ada.
Selalu, setiap Pon dan Legi, Dewo kecil menemani Ibunya ke pasar. Ia membawa tas kecil bermotif anyaman. Sementara, Bapaknya membawa barang dagangan menggunakan gerobak dari kayu. Ada rempah-rempah, bumbu masak, dan beberapa bahan masakan. Dan, Katmiati membawa tas kecil di tangan kanannya berisi pula barang dagangan. Serta ghoni kecil di punggunyanya. Tangan kirinya lembehan.Â
Sepanjang jalan menuju jalan, banyak tetangga dan orang pasar memuji Dewo.
"Rajin anakmu, Yu. Sukses kelak!" ucap salah seorang pasar.
"Tak doakan menjadi lurah atau bupati!" sahut orang pasar lain mendoakan.
Setiap kumpul sekadar melepas lelah, dan usai makan bersama, Katmiati selalu menceritakan masa kecilnya Dewo. Banyak orang berdoa baik padanya. Tidak saja orang pasar dan orang pintar yang Katmiati ceritakan, saat Dewo dilahirkan, nenek dari orang tua Wanto sempat berujar, ada peluang baik. Tahi lalat ini adalah tanda masa depan baik. Hanya saja banyak godaan yang akan datang begitu saja. Kuncinya hanya satu, kuat dan tak boleh lena.
"Ajarkan ilmu padi pada anakmu nantinya!" pesan nenek Bronto.
Katmiati berusaha mencerna dan memahami pesan mertuanya itu. tak lupa, disampaikan pula pada suaminya.
Dewo memang nampak lain dari anak-anak seusianya. Ia mudah sekali mengingat apa yang mampir di telinganya. Dibanding anak tetangga yang seumuran, Dewo lebih dulu bisa membaca dan menulis. Belajarnya menulis sangat sederhana. Tatkala ia menemukan tulisan di lembaran kertas atau di bungkus jajan selalu meminta Bapaknya membaca, kemudian ia menirukan.
"Coba ulang apa yang Bapak baca tadi!" kata Wanto suatu ketika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H