Selalu setiap hari, Soraya menyiapkan bubur gula jawa kesukaan Mulyono, suaminya. Bubur kental itu dibuatnya sendiri, dari beras pilihan dan terbaik, yang dicampur santan kelapa kental, diberi sedikit garam dan ditaburi gerusan gula jawa. Setiap  kali menyajikan bubur itu, mulut Soraya selalu mengucap doa untuk Mulyono yang hingga kini belum pulang---tak akan pulang karena ditampar air, dilahap bangunan, dan dikunyah pepohonan.
Sejak kota kelahiran Mulyono tergusur air dari laut, raga suami dari perempuan beranak satu itu hanyalah bayangan. Mulyono tewas bersamaan tsunami menjelma kota jadi tanah. Tubuhnya bengkak membiru. Arwahnya gentayangan. Anaknya perempuannya satu-satunya, sering melihat Mulyono berjalan melayang di antara bebungaan rumah dan jejalan kampung.
"Wajah Bapak pucat pasi! Kasihan sekali, tapi ketika aku dekati, Bapak berlalu tanpa menyentuh tanah," cerita Dina pada teman-temannya dengan wajah pucat. Tangannya gemetar.
Bayangan wajah Mulyono, sering mampir pula di piring bubur. Senyum kecil masa mudanya tinggal di setiap sendok. Tergambar jelas, sesekali seperti memanggil pemakan bubur itu.
Soraya yakin, suaminya itu masih hidup. Dia berharap setiap kali membuat bubur jawa, kemudian menyiapkan di meja kosong, suaminya datang. Tersenyum. Dada Soraya terasa mengembang.
"Ibu, kok buburnya hari ini beda?" komentar Dina, sembari mengaduk-aduk piring berisi bubur gula jawa hangat.
Soraya memerah. Tertunduk di bawah bangku kosong. Bukan untuk mencari sendok yang jatuh, atau barangkali ada kucing tetangga yang masuk ke rumah. Ia mengulum tangis. Suara gaduh di dinding hatinya bergemuruh.
Bangku kosong adalah tempat duduk suaminya. Kursi sederhana buatan berbahan kayu mahoni itu adalah peninggalan Mulyono. Juga jendela, almari kamar, dan beberapa pintu di rumah adalah peninggalannya juga.
Seorang lelaki tinggi, namun kurus itu adalah suamiku. Kala pagi, ia menyapa di pintu kamar dengan membawa beras---rojo lele, yang maunya dimasak lalu dihidangkan dalam keadaan menjadi bubur gula jawa. Sementara, lelaki berambut pendek, namun kurang rapi itu, juga suamiku. Kerapkali, ia menemani Dina kala berangkat dan pulang sekolah.
Di gubuk berbata, sudah lebih satu bulan semenjak Mulyono ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, keluarga kecil itu teramat sepi. Dulu, tak lekang waktu suara geraji, pemotong kayu menjadi warna tersendiri.
Reramaian di kota tak ada apanya dibanding di gubuk sederhana itu---tak ada perabotan mewah kecuali televisi merk kuno. Bukan bermaksud tidak mengikhlaskan Mulyono. Namun, Dina selalu meminta bubur gula jawa kesukaan Bapaknya untuk sarapan. Tak mau makanan lain---makanan seenak apapun.
"Ibu, apakah bubur gula jawa sudah masak? Aku rindu, ingin bertemu Bapak kalau kemarin aku mendapat nilai 100 di mata pelajaran Bahasa Indonesia," ucap Dina bersiap-siap sembari mengambil piring motif bunga-bunga.
Kala bubur gula jawa itu terhidang di meja, Dina mengaduk-aduk bubur itu hingga muncul wajah Bapaknya.
Tak ada yang melarang, tatkala Dina selalu menyebut Bapak, setiap kali sarapan bersama gula jawa. Harap, wajah Bapaknya datang, kemudian makan bersama, nikmat bubur gula jawa buatan ibu. Dan benar, pagi itu ia kembali menikmati wajah Bapaknya di piring bubur. Tersenyum, dan kadang berbicara yang tak bisa didengar.
"Bapak, kembali Dina menikmati setiap sendok bubur gula jawa kental. Bapak tahu, aku setiap pagi selalu akan meminta Ibu membuatkan makanan kesukaan Bapak. Supaya setiap pagi aku bisa menatap Bapak semu," tutur Dina di piring bubur.
#bersambung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H